Rabu, 26 November 2008

MENANAM MELINJO MEMBUAT EMPING,

Warga sekitar Menes - Pandeglang sering menyebut buah tangkil atau sake untuk menunjuk melinjo yang banyak terdapat di kebun petani setempat. Sebagaimana jenis tanaman keras lainnya, buah melinjo juga mengenal musiman, rata-rata tiga kali musim tiap tahun. Konon Melinjo (Gnetum gnemon L.) adalah suatu spesies tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropik dan Pasifik Barat. Melinjo dikenal pula dengan nama belinjo, mlinjo (bahasa Jawa), tangkil (bahasa Sunda) atau bago (bahasa Melayu dan bahasa Tagalog). Melinjo banyak ditanam di pekarangan sebagai peneduh atau pembatas pekarangan dan terutama dimanfaatkan "buah" dan daunnya. (sumber : Wikipedia). Tanaman ini memiliki nilai ekonomi tersendiri bagi masyarakat.

Melinjo merupakan tumbuhan tahunan berbentuk pohon yang berumah dua (dioecious). Batangnya kokoh dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Daunnya tunggal berbentuk oval dengan ujung tumpul. Melinjo tidak menghasilkan bunga dan buah sejati karena bukan termasuk tumbuhan berbunga. Yang dianggap sebagai buah sebenarnya adalah biji yang terbungkus oleh selapis aril yang berdaging.

Disamping mudah menanam dan pemeliharaannya, pohon melinjo juga memberikan banyak manfaat, dari mulai daun dan buahnya yang masih hijau (ambrang) yang biasa dimanfaatkan untuk membuat sayur asam, kulit buahnya yang juga dijadikan sayur, rantingnya digunakan untuk bahan bakar, pohonnya yang dapat digunakan untuk kebutuhan papan, hingga buahnya yang sudah matang berwarna merah untuk bahan baku pembuatan emping atau keceprek yang rasanya sangat gurih dan renyah.

Di kampung Kuluwut desa Harapankarya misalnya, sebagian kaum perempuannya terbiasa menjadi pengrajin emping. Sebut saja Ny.Dasiah (50) seorang ibu rumah tangga yang memiliki 8 putra dan 8 cucu adalah salah seorang dari sekian banyak perempuan yang sudah belasan tahun kesehariannya menjadi pengrajin emping. Di saat memiliki modal kecil-kecilan, ia produksi sekaligus jual sendiri hasilnya. Namun manakala ia tidak memiliki modal untuk membeli bahan baku, Ny. Dasiah hanya menjadi buruh pembuat emping bagi para pemilik modal yang lebih besar (cengkaw). Dalam sehari rata-rata ia bisa memproduksi antara 5kg s.d 6kg biji melinjo menjadi emping. Dari hasil pekerjaannya ia mendapatkan upah Rp.1.700,-/kg.

Aktifitas memproduksi emping biasa ia mulai jam 05.00 wib subuh sampai jam 13.00 wib. Pembuatannya dilakukan di emperan belakang rumahnya. Peralatannya sangat sederhana, terdiri dari lempengan batu atau kayu berdiameter +30CM, batu pemukul/antan (palu batu), alat untuk menjemur (nyiru atau lijen), tungku, katel (panyangrayan), sosok serta kayu bakar dan pasir. Sedangkan waktu yang tersisa ia pakai untuk mengurus keluarga serta mencari kayu bakar untuk keperluan bahan bakar di dapurnya maupun untuk memproduksi emping. Bisa dibayangkan, dalam sehari ia hanya mampu mendapatkan upah Rp.10.000,- untuk membantu menutupi kebutuhan hidup keluarganya yang jumlahnya besar itu. Sedangkan suaminya Marto (52) berprofesi sebagai petani yang penghasilannya juga tidak seberapa.

”Lumayan bae lah, lamun teu kieu, kumaha abdi nutupan kabutuhan kaluarga Pak? Ja salaki ngan saukur tani. Komo waktu ayeuna mah, usim halodo, sawah geh garing jeung teu bisa diolah. Alhamdulillah kanggo emam anak bae mah dicukup-cukupkeun” (Lumayan saja, kalau tidak begini, bagaimana saya menutupi kebutuhan keluarga Pak? Sedangkan suami hanya seorang petani. Apalagi saat ini, musim kemarau, sawah jadi kering dan tidak bisa digarap. Alhamdulillah untuk sekedar makan anak, ducukup-cukupkan) papar Ny. Dasiah lirih, saat ditemui disela-sela ayunan tangannya menumbuk satu per satu biji melinjo.

Menurut Ny. Dasiah, bahan baku biji melinjo biasa dibeli rata-rata Rp.6000,-/kg. Sedangkan harga jual emping Rp.17.000 hingga 18.000/kg. Dari bahan baku 1kg bisa menghasilkan 7-8 ons emping kering. ”Tergantung tangkilna, upami kulitna beureum, hasilna bisa nyampe 8 ons/kg, tapi lamun atah kenek mah – kulitna koneng, hasilna rata-rata 7ons/kg. Hasilna geh rada goreng, kulumudan jeung genyeh.” (tergantung melinjonya, kalau warna kulitnya merah, hasilnya bisa mencapai 8 0ns/kg, tetapi kalau masih mentah – warna kulitnya kuning, hasilnya rata-rata 7 ons/kg. Hasilnya juga kurang bagus, berkulit ari / kulit bagian dalam biji melinjo menempel dan lembek).

Berbeda dengan Ny.Dasiah di Kuluwut, Ny.Eti, perempuan kampung Cilanggawe desa Karyautama, yang kesehariannya bersama keluarga menjadi pengusaha emping dan keceprek melinjo. Disamping memproduksi sendiri, ia juga menampung emping dan keceprek dari buruh atau pengrajin emping di sekitar kampungnya. Peluang bisnis ini ia manfaatkan dengan baik. Mulai dari membuat kemasan yang menarik konsumen, ketebalan emping, aneka aroma dan rasa keceprek, hingga senantiasa berupaya menjaga kualitas produknya. Alhasil, emping dan keceprek yang ia kelola sudah mampu menembus pasar ke luar daerah Banten dan luar Jawa.

Bahan baku melinjo di daerah kita (Pandeglang) kualitasnya sangat bagus, kadar karangnya relatif rendah, sehingga rasanya sangat gurih dan renyah. Sehingga mampu bersaing dengan emping atau keceprek produksi daerah lain. Sehingga harga jualnya pun bisa mencapai Rp.25.000/kg” ungkap Ny. Eti yang mampu menjual emping dan kecepreknya hingga 5 kwintal setiap bulannya.

Ny. Eti menambahkan, sebenarnya peluang pasar emping dan keceprek melinjo asal Menes ini cukup besar, bahkan bisa menembus pasar luar negeri. Namun persoalannya sangat klasik, yakni keterbatasan modal usaha dan teknologi tepat guna yang dapat menunjang produksinya. ”Kami tentu sangat berharap pemerintah mau mengulurkan tangannya membantu mengatasi kendala yang dihadapi para pengrajin emping ini” pungkasnya.

Sedangkan H.Kusen, seorang bandar besar emping warga kampung Pakojan desa Muruy - Menes mengambil peluang bisnis dengan lebih memfokuskan pada penampung dan penjual biji melinjo, sedangkan untuk emping porsinya relatif kecil. Hampir setiap hari ia mengirim 1 sampai 2 truk biji melinjo ke daerah Jawa Tengah. Menurutnya, jika harus memproduksi emping atau keceprek, prosesnya cukup lama. ”Sengaja saya lebih fokus untuk menampung dan menjual biji melinjonya saja. Sebab sangat praktis, kita tidak memikirkan resiko musim hujan untuk menjemur emping atau keterlambatan dalam memproduksi. Sedangkan kita belum mampu memiliki teknologi canggih yang efektif efisien untuk memproduksi emping berkualitas tinggi” kata H.Kusen yang sudah puluhan tahun berprofesi sebagai penjual biji melinjo. (Ayah Haqie)

SADIM DAN CITRA URANG BADUY

Tak terbayangkan sebelumnya, di hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke 60, 17 Agustus 2005, darah segar harus mengalir dari tubuh tiga orang korban (Yadi, Aisah - korban luka-luka dan Kasmiah - korban meninggal) akibat penganiayaan dengan menggunakan sebilah pisau. Yang mengagetkan dari tindak pidana tersebut adalah pelakunya. Dialah Sadim bin Samin, seorang warga Kampung Cikeusik Desa Kanekes Kec. Leuwidamar Kabupaten Lebak, dimana komunitas masyarakat Baduy/Urang Baduy berada. Peristiwa tersebut merupakan kejadian pertama kali dalam sejarah keberadaan masyarakat yang mengasingkan diri (bukan masyarakat terasing) ini.

Peristiwa tersebut begitu menggegerkan, para tokoh adat Urang Baduy merasa kebingungan (bingung teu manggih tungtung, susah teu mendak lebah). Tak ayal proses peradilannya di PN Rangkasbitung menjadi pusat perhatian publik, termasuk masyarakat internasional seperti diberikan antropolog asal Australia, Dr.Tsu Ellen dkk. Hal ini dapat dimaklumi, karena ternyata hal tersebut juga tercatat sebagai peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi di lingkungan komunitas adat di Nusantara.

KRONOLOGIS

Sadim bin Samin yang usianya ditaksir 40 tahun lebih adalah warga Kampung Cikeusik, salah satu kampung dari tiga kampung Baduy Dalam yang kini jumlahnya sekitar 1400 jiwa, sementara jumlah warga Baduy Luar sekitar 9000 jiwa. Aktifitas keseharian lelaki yang dikenal tidak banyak tingkah tersebut banyak dihabiskan di huma/ladang miliknya. Namun ia pun sering diminta tenaganya oleh warga di luar Baduy, khususnya warga Kampung Cilebang Desa Sukaraja Kecamatan Sobang Kab. Lebak yang berbatasan langsung dengan kampung Cikeusik untuk membantu membersihkan ladangnya. Interaksi tersebut ia lakukan sudah belasan tahun lamanya dengan imbalan uang atau beras alakadarnya. Kegiatan menjadi buruh tani/ladang ini ia lakukan disela-sela waktu berhuma di kampungnya. Karena musim tanam/berladang di Baduy hanya 1 kali setahun, maka banyak waktu luang yang dimiliki untuk mengais rejeki tambahan. Sadim yang kurus, pendiam dan tertutup ini memiliki 8 anak dan 1 menantu, tergolong keluarga sangat sederhana. Namun demikian ia pun masih memiliki 1 leuit/lumbung padi sebagaimana dimiliki oleh warga/urang Baduy lainnya.

Pagi itu, 13 Agustus 2005 Sadim diamanatkan oleh warga kampung Cilebang untuk menyiangi ladang milik keluarga Yadi. Sadim pun penuhi amanat keluarga yang sudah ia kenal sejak lama tersebut. Tanpa memperdulikan nilai upah yang akan diberikan majikannya, ia bekerja di lahan yang berbatasan langsung dengan gunung Rorongo Congo. Salah satu gunung tertinggi di kawasan pegunungan Kendeng dan dianggap sebagai gunung yang dikeramatkan warga desa setempat. Dalam tradisi lisan masyarakat setempat, diyakini bahwa apabila gunung tersebut dikelola, selalu berakibat buruk bagi masyarakat, misalnya terjadi bencana kebakaran, banjir dan sebagainya. Karenanya berdasarkan kesepakatan bersama warga kampung Cilebang, gunung tersebut dijadikan hutan lindung yang tidak boleh diganggu. Bahkan dalam riwayat lisan masyarakat Baduy, konon dahulu pernah terjadi banjir besar di Pulau Jawa, puncak gunung tersebut adalah satu-satunya tempat yang tidak tertimpa banjir di wilayah Jawa Barat.

KONFLIK BATIN

Setelah empat hari mengerjakan ladang milik keluarga Yadi, Sadim teringat bahwa tepat pada 17 Agustus 2005 akan dilakukan satu upacara adat yang disebut Ngaseuk Serang, yakni penanaman padi pertama kali yang wajib diikuti oleh seluruh warga Baduy Dalam. Namun keluarga Yadi memintanya untuk tetap tinggal di rumahnya dan menggarap lahan yang mulai mengusik kawasan Gunung Rorongo Congo.

Nampaknya konflik batin menyelimutinya, disatu sisi harus pulang untuk mengikuti ngaseuk serang, di sisi lain harus terus mengerjakan ladang majikan. Dengan berat hati akhirnya ia putuskan untuk memenuhi keinginan majikannya. Kewajibannya sebagai urang Tangtu (sebutan untuk Baduy Dalam) untuk hadir di acara ngaseuk serang ia abaikan.

Hari rabu pagi (17/8), sekitar jam 05.30 wib, Sadim terjaga dengan muka merah dan badan gemetar. Yang ia rasakan dan ingat saat itu, ada seekor harimau dari hutan Rorongo Congo yang hendak menerkamnya. Dengan refleks ia ambil sebilah pisau yang biasa dipakainya di ladang dan berada di sampingnya untuk menghadapi serangan tersebut. Dengan membabi buta ia hujamkan ke berbagai sasaran. Tapi sayang, kenyataanya, yang ia tikam bukanlah harimau, melainkan majikannya, Yadi, istrinya Aisah dan ibu mertuanya Kasmiah, yang juga tidur di ruang tengah. Yadi dan Aisah masih sempat melarikan diri ke luar rumah, tapi sayang, Kamsinah yang sudah berusia tua itu tak mampu berbuat apa-apa hingga ia tewas di tempat kejadian.

NGASEUK SERANG

Ngaseuk Serang adalah salah satu dari serangkaian upacara adat yang berhubungan dengan aktifitas ngahuma (berladang). Dimana wujud dari upacara ini adalah penanaman padi yang pertama kali dilakukan di lingkungan masyarakat, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Upacara ini dilakukan seluruh warga dewasa di semua kampung Baduy Dalam (Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana) yang pelaksanaannya bisa dalam satu hari yang sama atau di hari yang berbeda selang satu hari.

Disamping dilakukan oleh warga masing-masing kampung Baduy Dalam, upacara ini dihadiri pula oleh warga dewasa Baduy Luar yang secara suka rela berduyun-duyun menuju Huma Serang yang luasnya tidak lebih dari setengah hektar. Warga Baduy Luar bebas memilih untuk mengikuti upacara Ngaseuk Serang di salah satu Kampung Baduy Dalam. Biasanya mereka memilih berdasarkan kedekatan antara kampungnya dengan Huma Serang.

Warga Baduy Dalam mengenakan seragam berwarna putih alam, dengan kombinasi biru tua. Sedangkan pakaian warga Baduy Luar berwarna hitam dengan kombinasi biru tua. Setiap laki-laki memegang aseuk/tongkat yang runcing untuk melubangi lahan tempat butiran padi ditanam. Mereka berjejer di barisan terdepan. Sedangkan kaum perempuan memegang butiran padi yang siap ditanam berada di barisan belakang, untuk mengikuti jejak lelaki.

Jumlah peserta upacara ini biasanya lebih dari seribu orang, namun uniknya tak melahirkan kegaduhan atau hiruk-pikuk. Yang terdengar hanya suara alam dan alunan musik yang terbuat dari bambu, bernama Angklung Buhun yang hanya pada acara ngaseuk serang itulah diperdengarkan setiap tahun sekali. Upacara berlangsung begitu khidmat dan sakral. Ngaseuk Serang hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam, mengingat lahannya relatif sempit, sementara pesertanya begitu banyak.

Ngaseuk serang adalah simbol dimulainya musim tanam padi. Seluruh warga tidak diperkenankan ngaseuk (menanam padi di ladang/huma masing-masing) sebelum dilaksanakan upacara ngaseuk serang. Karena itulah penanaman padi disana dilakukan secara serentak, yang memiliki resiko relatif kecil terserang hama.

Di acara ini pula nampak kebersamaan dan kesetaraan, tak peduli ia seorang pejabat adat atau rakyat jelata, semuanya bahu-membahu bekerja dan saling membantu.

HUKUM POSITIF DAN HUKUM ADAT

Persoalan yang kemudian muncul atas kisah tragis ini adalah bahwa Sadim harus dihadapkan pada dua persoalan, yakni menghadapi ancaman hukum positif sekaligus hukum adat yang berlaku di Baduy. Sementara semua pihak mahfum bahwa negara menjamin hak-hak dan kewajiban setiap warganya. Sadim harus dihadapkan pada dua peradilan. Terlepas dari dapat dipertanggung jawabkan atau tidaknya perbuatan Sadim, pertanyaannya kemudian, adilkah seorang warga negara Indonesia dihadapkan pada dua peradilan atas satu perbuatan hukum yang dilakukannya?

Sesaat setelah kejadian, Sadim yang polos dan tak mengerti hukum (positif) ini langsung diamankan di Polsek Muncang. Pada saat dilakukan pemeriksaan, Sadim yang tidak cakap berbahasa Indonesia itu di-BAP tanpa didampingi pembela.

Sesaat setelah mendapat berita dari aparat kepolisian, Jaro Dainah, Jaro Pamarentah/Kepala Desa Kanekes langsung menuju lokasi kejadian. Sebagai bentuk dari tanggung jawabnya, Jaro Dainah membantu keluarga korban dengan menanggung biaya selama perawatan di rumah sakit Adjidarmo Rangkasbitung, membantu acara penguburan korban meninggal, acara 7 hari hingga acara 40 harinya.

Sementara para tokoh adat Baduy lainnya mengadakan musyawarah dan langsung mengamankan anak istri Sadim di rumah Jaro Asmari/Jaro Dangka Cibengkung, tempat hukuman bagi warga Cikeusik apabila melakukan pelanggaran adat. Hukum adat Baduy menyatakan bahwa jika ada salah satu anggota keluarga melakukan pelanggaran adat yang berat, maka anggota keluarga lainnya harus turut bertanggung jawab, dengan istilah bela pati. Kejadian ini sangat menyakitkan masyarakat Baduy. Sebab dalam sejarah keberadaan masyarakat Baduy, ini peristiwa pertama. Jangankan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, berselisih faham hingga meneteskan darah saja sudah merupakan pelanggaran adat yang sangat berat.

Atas sikap kooperatif Jaro Dainah, kemudian keluarga korban membuat surat pernyataan di atas materai, tidak mempersoalkan periwtiwa tersebut ke aparat penegak hukum. Yadi dan keluarga sadar bahwa hal tersebut merupakan musibah dan cobaan dari Allah yang harus diterimanya dengan ikhlas.

Hingga beberapa pekan setelah kejadian, tak satupun pihak luar (baik pemerintah, LSM, budayawan, LBH) yang memberikan perhatian atas peristiwa ini. Untungnya atas inisiatif sendiri, Lembaga Advokasi Masalah Publik (LAMP) yang saat itu masih dipimpin penulis, berkunjung ke Baduy. Atas permohonan lembaga adat, LAMP dengan pengacaranya, Razid Chaniago, MH., secara suka rela mendampingi Sadim.

Alhasil, atas upaya LAMP, perhatian dan uluran tangan dari pihak lain pun berdatangan, seperti bantuan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA). Termasuk menghadirkan Prof. Nyoman Nurjaya, Guru Besar Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang memberikan kesaksian di PN Rangkasbitung serta Dra. Sugiarti, M.Kes., psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang memeriksa psikologi Sadim di Rutan Rangkasbitung.

Dalam salah satu persidangan, Prof. Nyoman, Saksi Ahli asal Bali itu merekomendasikan agar PN Rangkasbitung mengembalikan Terdakwa kepada lembaga Adat Baduy untuk diproses dengan menggunakan hukum adat. Sementara hasil analisis psikolog UI, menyebutkan bahwa intelegensia Sadim sangat rendah dan pada saat kejadian ia mengalami gangguan psikologis, yakni konflik batin antara harus pulang ke kampung halamannya untuk ikut upacara ngaseuk Serang dengan menjalankan perintah majikannya menggarap lahan di gunung Rorongo Congo yang merupakan salah satu hutan tertutup dan tidak boleh digarap.

Setelah berbulan-bulan lamanya, akhirnya pada sidang terakhir di PN Rangkasbitung, 23 Maret 2006, dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Sadim divonis 7 bulan 8 hari dari 4 tahun penjara yang dituntutkan oleh Jaksa Joko S, dan Sri Harsini. Saat itu, Jaksa maupun pembela menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.

Namun selang beberapa hari, Jaksa Sri Harsini mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Karena itu Kuasa Hukum Terdakwa Sadim juga mengajukan hal yang sama.

Kini Sadim diamankan di rumah Asmari, Jaro Dangka Cibengkung, yang lokasinya berada di wilayah Desa Bojong Menteng. Sidang adat belum bisa dilaksanakan sebelum upacara Kawalu (Kawalu Tutug/kawalu akhir) selesai bulan depan yang kemudian diikuti dengan serangkaian upacara adat lainnya seperti upacara Kalanjakan Kapundayan, Seren Tahun dan Seba Tahun. Di samping itu saat ini kondisi fisik dan mental Sadim masih dalam kondisi sakit. Ayah Mursyid alias Alim, seorang tokoh Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo bertutur, “samemeh disidang Panyampurnaan, Sadim kudu dicageurkeun heula. Sabab ayeuna awak jeung batinna gering. Kukituna ayeuna diubaran ku Jaro Dangka Cibengkung.” (sebelum disidang adat - upacara penyempurnaan, Sadim harus disembuhkan terlebih dahulu. Sebab saat ini kondisi fisik dan jiwanya masih sakit. Oleh karenanya saat ini Sadim sedang diobati oleh Jaro Dangka Cibengkung).

Atas kejadian ini, kampung Cikeusik masih tertutup untuk dikunjungi tamu dari luar Baduy. Mereka masih larut dalam kesedihan. Karena akibat peristiwa yang memprihatinkan ini, citra masyarakat yang lebih dari 10.000 jiwa (baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar) menjadi tercoreng.

Meskipun upacara persidangan adat belum dapat dilaksanakan, akan tetapi sudah dapat dipastikan, salah satu putusannya nanti adalah bahwa Sadim tidak lagi diperbolehkan tinggal di Baduy Dalam hingga akhir hayatnya. Hukuman ini jelas begitu berat, karena bentuk hukumannya bukan hanya fisik, melainkan juga hukuman batin.

Untuk mempersiapkan upacara adat, masing-masing kampung yang ada di lingkungan desa Kanekes (sekarang 59 kampung) melakukan iuran untuk pembiayaan yang membutuhkan sekitar enam sampai tujuh juta rupiah, karena rangkaian upacara sedemikian panjang dengan beragam syarat.

Lantas, apa hikmah peristiwa tersebut bagi kita? Mungkin jawabannya, biarkan nurani kita yang menjawab.

KONSERVASI BADAK UJUNG KULON

Rhinoceros Sondaicus (bukan Rhinocerus Javaicus) yang secara harfiah berarti Badak Sunda yang bercula satu dan satu-satunya di dunia yang berada di Ujung Kulon ramai dibicarakan. Banyak pihak menentang keras atas wacana yang dikemukakan pihak World Wide Foundation (WWF) tentang rencana untuk membuat 2nd population/habitat atau habitat kedua di luar Banten. Reaksi ini tentu dapat dimaklumi, mengingat Badak Ujung Kulon selama ini sudah menjadi icon (ciri khas) masyarakat Banten, terlebih lagi bagi masyarakat Kabupaten Pandeglang.

Konon - sebagaimana diakui pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) - akurasinya belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, populasi salah satu jenis hewan langka di dunia itu kini jumlahnya hanya sekitar 64 ekor. Mengingat pihak BTNUK belum memiliki teknologi yang canggih, maka metode yang dipakai untuk mengetahui populasinya dilakukan dengan menghitung jejak langkah kaki berdasarkan ukurannya serta kotorannya saja.

Hal ini memicu banyak pertanyaan publik ; memangnya badak itu masih ada? Jangan-jangan kita hanya meributkan sesuatu yang tidak jelas? Demikian kira-kira diantara pernyataan yang muncul, sebagaimana juga muncul dari ketua Indonesian Tourism Club dalam seminar masa depan pariwisata Banten yang diselenggarakan Litbang Radar Banten (29/8). Disini pihak terkait memang perlu menjelaskan kepada publik secara resmi. Namun untuk megurangi rasa penasaran melalui pertanyaan publik di atas, penulis nyatakan bahwa badak Ujung Kulon masih ada. Salah satu bukti bahwa badak itu masih ada, pada pertengahan Juni yang lalu petugas WWF sempat merekam seekor badak yang sedang berendam di salah satu bibir pantai Ujung Kulon dengan durasi sekitar 4 menit yang diperlihatkan di ajang diskusi konservasi badak di carita pada tanggal 22 Agustus yang lalu.

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang terkategorikan sebagai salah satu world heritage site/situs peninggalan dunia, disebut-sebut sebagai kawasan yang kini terancam, khususnya ancaman kepunahan badak yang dalam tradisi lisan Baduy disebut Si Putri itu. WWF menyebutkan beberapa ancaman dimaksud, diantaranya: pertama, bencana alam gempa tektonik yang berpusat di sekitar pulau Panaitan yang memungkinkan melahirkan tsunami serta ancaman letusan anak gunung Krakatau; kedua, banyaknya tanaman langkap (sejenis palem) yang mengakibatkan berkurangnya rumput pakan badak; ketiga, keberadaan banteng yang sudah over population dan menguasai pakan badak; keempat, perubahan iklim, dimana pemanasan global saat ini sudah mencapai 0,8 dari 2o yang menjadi batas toleransi, termasuk perubahan vegetasi.

Sejarah

Di Indonesia, badak Sunda dahulu diperkirakan tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Di Sumatera saat itu badak Sunda tersebar di Aceh sampai Lampung. Di Pulau Jawa, pernah tersebar luas di seluruh Jawa, dan kini hanya terdapat di Ujung Kulon, Banten. Pada tahun 1833 masih ditemukan di Wonosobo, 1834 di Nusakambangan, 1866 di Telaga Warna, 1867 di Gunung Slamet, 1870 di Tangkuban Perahu, 1880 di sekitar Gunung Gede Pangrango, 1881 di Gunung Papandayan, 1897 di Gunung Ceremai dan pada tahun 1912 masih dijumpai di sekitar daerah Karawang. Frank pada tahun 1934 telah menembak seekor badak Sunda jantan dari Karangnunggal di Tasikmalaya, sekarang specimennya disimpan di Museum Zoologi Bogor. Menurut catatan merupakan individu terakhir yang dijumpai di luar daerah Ujung Kulon.

Pada tahun 1910 badak Sunda sebagai binatang liar secara resmi telah dilindungi Undang-Undang oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1921 berdasarkan rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, Ujung Kulon oleh pemerintah dinyatakan sebagai Cagar Alam. Keadaan ini masih berlangsung terus sampai status Ujung Kulon diubah menjadi Suaka Margasatwa di bawah pengelolaan Jawatan Kehutanan dan Taman Nasional pada tahun 1982.

Di Ujung Kulon populasi badak pada tahun 1937 ditaksir ada 25 ekor (10 jantan dan 15 betina), dan pada tahun 1955 ada sekitar 30-35 ekor. Pada tahun 1967 di Ujung Kulon pertama kalinya diadakan sensus badak Sunda yang menyebutkan populasinya ada 21-28 ekor. Turun naiknya populasi badak selain adanya kelahiran anak, juga dipengaruhi oleh adanya perburuan. Setelah pengawasan yang ketat terhadap tempat hidup badak, populasi badak Sunda terus meningkat hingga kira-kira 45 ekor pada tahun 1975. Menurut hasil sensus sampai tahun 1989 diperkirakan tinggal 52-62 ekor. Sensus pada Nopember 1999 yang dilaksanakan oleh TNUK dan WWF diperkirakan 47 - 53 ekor.

Badak Sunda mungkin merupakan mamalia besar paling langka di dunia dimana hanya 50 - 60 yang bertahan hidup di seluruh dunia. Terlepas dari segelintir individu di Taman Nasional Cat Tien di Vietnam, keseluruhan populasi di dunia hanya dijumpai di satu lokasi: Taman Nasional Ujung Kulon, Provinsi Banten. Tidak heran hewan ini tercantum sebagai Yang Sangat Terancam dalam IUCN Red List of Threatened Species [Daftar Merah Spesies Yang Terancam dari IUCN]. Perburuan badak bercula-satu ini secara keseluruhan berhenti di tahun 1990-an, tetapi pelanggaran terhadap hak atas hutan dan ekstraksi ilegal di seputar taman menimbulkan ancaman yang berlangsung terus-menerus .

PERTUMBUHAN POPULASI BADAK JAWA DI SEMENANJUNG UJUNG KULON
DARI DATA HASIL SENSUS (1967 - 1993)

Tahun

Minimum

Maksimum

Rata-rata

Sumber

1967

21

28

24.5

Schenkel & Schenkel (1969)

1968

20

29

24.5

idem

1969

22

34

28.0

PPA

1970

-

-

---

tidak ada sensus

1971

33

42

37.5

PPA

1972

40

48

44.0

PPA

1973

38

46

42.0

PPA

1974

41

52

46.5

PPA

1975

45

54

49.5

PPA

1976

44

52

48.0

PPA

1977

44

52

48.0

PPA

1978

47
46

57
55

52.0
50.5

PPA
Amman (1980)

1979

-

-

---

tidak ada sensus

1980

54
57

62
66

58.0
61.5

PPA
Amman (1980)

1981

51
54

77
60

64.0
57.0

PPA
Sadjudin, dkk (1981)

1982

53

59

56.0

PPA

1983

58

69

63.5

PPA

1984

50

54

52.0

Sadjudin & PHPA (1984)

1985

1988

-

-

---

tidak ada referensi

1989

52

62

57.0

Santiapillai, dkk (1989)

1993

35

58

47.0

Griffiths (1993)

Sumber : Strategi Konservasi Badak Indonesia - Dirjen PHPA Dephut RI (1994)

Sensus terakhir dilaksanakan tahun 2003 yang melibatkan 70 personel berasal dari BTNUK, WWF, LSM internasional dan lokal, Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran, dan masyarakat sekitar Desa Ujung Jaya serta Tanjung Jaya Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang. Metode yang digunakan adalah penghitungan jejak transek atau jalur pengamatan bersifat permanen yang berada pada 15 lintasan badak. Melalui metode itu dilakukan pengukuran tapak kaki sehingga dapat diketahui ada tidaknya pertambahan populasi.

Metode transek digabungan dengan hasil pengamatan yang dilakukan tim Rhinoceros Monitoring and Protection Unit (RMPU). Tim permanen ini bertugas mencatat temuan badak, baik secara langsung maupun hanya berupa tanda keberadaannya yang ditunjukkan dengan jejak, kotoran, kubangan, air kencing, dan bekas makanan. Data di BTNUK menunjukkan, trend perkembangbiakan badak Sunda mengalami pertumbuhan turun naik. Puncak populasi tertinggi tercatat pada 1981, 1982 dan 1984 dengan jumlah 63 ekor. Habitat badak Sunda tersebar pada areal seluas 38.543 hektare di kawasan tertutup Semenanjung Ujung Kulon.

Wacana 2nd Population

2nd population (populasi kedua) Badak Ujung Kulon sebenarnya merupakan gagasan yang digulirkan pihak WWF sejak tahun 1995. Yakni gagasan tentang kemungkinan untuk membantu perkembang biakan (penambahan habitat) badak. Dengan cara mengambil sepasang badak pilihan, yang atas dasar kajian ilmiah merupakan bibit unggul.

Pemikiran dimaksud dijabarkan dalam beberapa tahapan diantaranya dengan melakukan kajian untuk memilih/menetapkan habitat yang sesuai; pemilihan individu yang cocok sebagai founder (berdasarkan DNA); proses adaptasi, yakni dilokalisir sebelum dipindahkan; proses pemindahan; dan pemantauan pasca pemindahan. Pemilihan habitat baru ini sendiri terdiri dari 13 ktireria yang ideal. Sedangkan kandidat lokasi yang disebutkan adalah Taman Nasional Gunung Halimun Gunung Salak (TNGHS) seksi Lebak, Taman Nasional Berbak – Westlands International di Jambi dan Rimba Harapan – Birdlife di Jambi. Namun survey yang sudah dilakukan 2 tahun terakhir baru di TNGHS dengan para ilmuwan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sedangkan TN Berbak dan Rimba Harapan baru mengandalkan data sekunder dari Birdlife, rapid assessment.

Pemilihan founder sendiri akan didasarkan pada informasi genetik yang akan membangun kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Columbia University serta memanfaatkan para ahli translokasi dari India dan Nepal. Adapun dalam proses adaptasi, pihak WWF menyebutkan fasilitas semi-captive dan pemantauan kesehatan yang intens serta melihat kemampuan adaptasi/seleksi. Sedangkan dalam proses pemindahan hal yang harus dipersiapkan adalah capture (bius atau perangkap), togging / radio collar serta transportasi dari lokasi ke fasilitas adaptasi dan transportasi dari fasilitas adaptasi ke habitat yang baru. Dalam perencanaan disebutkan juga pemantauan pasca pemindahan, diantaranya protocol pemantauan kesehatan, pemantauan perilaku, rapid response unit di habitat baru, pemantauan home range dan pola makan.

Jika gagasan tadi direalisasikan, bisa dibayangkan betapa banyaknya waktu, biaya, tenaga dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan. Sebab itu belum termasuk bagaimana melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar habitat baru. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, siapa yang menjamin bahwa sepasang badak itu akan selamat, aman dan mampu berkembang biak sebagaimana yang diinginkan?

Tentu saja gagasan tersebut diharapkan sesuatu yang tulus dengan niatan menjalankan amanah Tuhan untuk menjadi rahmatan lil’alamin (dalam hal ini menyelematkan Badak dari kepunahan) dan bukan sebagai project oriented.

Solusi Alternatif

Seperti diungkapkan di awal, gagasan WWF langsung mendapat reaksi keras dari masyarakat Banten termasuk pemerintah daerah setempat. Berita ini sempat mewarnai beberapa media cetak dan elektronik. Secara umum semuanya menolak gagasan tersebut. Alasannya Badak adalah icon Banten-icon Pandeglang. Reaksi ini menandakan betapa masyarakat Banten begitu cinta dan bangga akan Badak Cula Satu yang hanya ada di Ujung Kulon. Akan tetapi rasa bangga dan sikap menolak wacana pemindahan saja tidak cukup untuk melindunginya dari kepunahan. Rasa bangga dan cinta tadi akan sangat bermanfaat bagi badak itu sendiri manakala ditunjukkan dengan adanya langkah konkret yang dilakukan.

Terlepas dari persoalan di atas, penulis justru ingin fokus pada konservasi Badak Sunda di Ujung Kulon itu sendiri. Apa yang sudah dan akan kita lakukan untuk melindunginya di habitat aslinya itu? Alasan adanya ancaman gempa tektonik yang dapat mengakibatkan tsunami atau anak gunung Krakatau meletus, siapa yang tahu akan bencana itu? Alasan banyaknya pohon langkap yang memunahkan rumput pakan badak, mengapa tidak ditebangi langkap itu? Apa yang sudah BTNUK & WWF lakukan mengantisipasi dominasi langkap di TNUK?

Disebutkan pula bahwa keberadaan banteng saat ini sudah over-population yang menguasai pakan badak, mengapa tidak si banteng saja yang kita pindahkan? Atau dalam gagasan nyeleneh melokalisirnya di suatu areal tertentu yang kemudian dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendongkrak dunia pariwisata melalui “Berburu Banteng Ujung Kulon” secara terbatas?.

Disadari atau tidak, yang terlupakan dan menjadi ancaman besar lainnya, hemat penulis adalah konflik yang selama ini terjadi antara masyarakat di sekitar (buffer zone) kawasan TNUK dengan aparat Polisi Hutan (Polhut) dari pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK). Ini justru yang menjadi ancaman utama yang harus segera dicarikan jalan penyelesaiannya.

Caranya yang penulis tawarkan adalah dengan melakukan resolusi konflik melalui pendekatan budaya, (bukan pendekatan kelembagaan atau scientific - yang orang awam justru tidak faham sama sekali, apalagi pendekatan represif). Melalui pendekatan ini tentu tidak bisa dilakukan hanya oleh salah satu pihak, BTNUK saja misalnya. Bagaimana konsep konservasi badak bisa dilaksanakan sebagaimana harapan, disinilah kesadaran seluruh stake holders untuk menggunakan pola kolaborasi. Stake holders dimaksud menurut Prof. Hadi Alikodra dari IPB adalah pemerintah pusat melalui otoritas yang diberikan kepada BTNUK, pemerintah daerah, masyarakat lokal yang langsung menngunakan sumber daya, masyarakat lokal yang memiliki kepentingan secara tidak langsung dengan sumber daya, individu atau group yang secara legal memiliki kegiatan komersial pemanfaatan sumber daya langsung/pengusaha, mereka yang datang untuk memanfaatkan sumber daya yang sering menyebabkan terjadinya kerusakan, penghasil limbah, suppliers, supporter perguruan tinggi, LSM, konservasionis serta konsumen yang menggunakan souvenir, tokoh masyarakat lokal.

Oleh karenanya dalam konteks ini, kita jangan bermimpi menjadi seorang Superman, lupakan Robinhood dan abaikan hasrat untuk menjadi pahlawan sendiri. Yang harus dilakukan untuk menyelamatkan badak cula satu adalah bentuk konsorsium; bekerja bersama-sama (tidak sekedar bersama-sama bekerja), siapa bisa melakukan apa dan siapa berperan sebagai apa. Toh meski tidak tercatat sebagai seorang syuhada/pahlawan di mata rakyat melalui publikasi media, Malaikat kan tidak tidur apalagi lupa mencatat amal baik kita?!. Wallahu’alam bisshawab.

(Artikel ini merupakan pengembangan dari tulisan yang dimuat di harian Radar Banten, Senin 3 September 2007)