Rabu, 26 November 2008

BERSATU MENGATASI GLOBAL WARMING

Menyongsong konferensi PBB di Bali yang dimulai hari ini sampai 14 Desember, Kamis lalu (29/11) bertempat di gedung PP Muhammadiyah Menteng - Jakarta, tak kurang dari 50 Tokoh Agama dan Tokoh Adat se Indonesia melakukan Rembug Nasional yang bersatu dalam upaya mengatasi perubahan iklim yang kini semakin menghkawatirkan. Tak tanggung-tanggung, dari kalangan tokoh agama hadir diantaranya Prof. DR. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah); KH. Ali Maschan Musa (PWNU Jawa Timur); Pdt. DR. Andreas A. Yewangou (Ketua Umum PGI); Mgr. Martinus D. Situmorang (Ketua KWI); Bhikksu Jinadhammo (Ketua Sesepuh KASI); DR. I Made Gde Erata (Ketua PHDI); KH. Syuhada Bachri (DDII); Shiddik Amien (PERSIS) dan sejumlah tokoh agama lainnya.

Sedangkan dari kalangan tokoh adat yang turut hadir di acara yang digagas oleh PP Muhammadiyah dan Departemen Luar Negeri RI ini diantaranya Zulfikar Sawang (Tokoh Adat NAD), Priyaldi (Tokoh Adat Minang), Andi Kasim (Tokoh Adat Dayak), Suriansyah Idham (Tokoh Adat Banjar), KH. Zawawi Imron (Tokoh Adat Madura), Leonard Imbiri (Sekjen Dewan Adat Papua), GPH. Puger (Tokoh Adat Jawa), Tenas Effendi (Tokoh Adat Melayu) dan tak ketinggalan Jaro Dainah (Tokoh Adat Baduy - yang ditemani penulis).

Dalam rembug yang dibuka oleh Duta Besar Djismun Kasri mewakili Menlu Hasan Wirayudha tersebut terungkap bahwa betapa perubahan iklim memberikan dampak negatif berupa pemanasan global (global warming) yang cukup besar terhadap masyarakat di Indonesia dan dunia. Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (80%) dan kegiatan alih-guna lahan seperti deforestasi (20%). Kegiatan tersebut menghasilkan gas – gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH2) dan nitrous oksida (N2O) yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer.

Gas-gas tersebut memiliki sifat seperti kaca yang meneruskan radiasi cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi balik yang dipancarkan Bumi bersifat panas sehingga suhu atmosfer Bumi makin meningkat. Gas-gas tersebut dinamakan gas rumah kaca (GRK) dan pengaruh yang ditimbulkan dikenal dengan nama efek rumah yang menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim.

Laporan ilmiah dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) awal tahun 2007 menunjukkan bahwa pemanasan global telah terjadi sejak dimulainya kegiatan manusia tahun 1750 dan meningkat pada masa revolusi industri. Apabila emisi GRK tetap berlanjut seperti saat ini, IPCC memprediksikan peningkatan suhu rata-rata Bumi 3 derajat celcius dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang. Pemanasan global memberikan dampak negatif terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yaitu; menurunnya produksi pangan karena curah hujan yang menurun, peningkatan air laut, perubahan pola musim, terganggunya ketersediaan air, penyebaran hama dan penyakit, dan rusaknya terumbu karang.

Pemanasan global yang terjadi saat ini pada dasarnya diakibatkan maraknya perusakan alam, emisi dan polusi dari pencemaran industri yang terjadi seratus hingga dua ratus tahun lalu. Kondisi ini diperparah dengan ulah negara maju yang melakukan pencemaran lingkungan, menjamurnya rumah kaca dan polusi yang dihasilkan dari industri. Ditambah lagi negara berkembang di kawasan tropis yang memiliki jutaan hektar hutan sebagai penangkal terjadinya pemanasan global tak mampu menjaga ekosistem. Penebangan dan pembalakan liar dengan dalih ekonomi terus terjadi di negara-negara pemilik hutan lebat seperti Indonesia, India dan China.

Sebagai Negara kepulauan, Indonesia sangat rentan akan dampak perubahan iklim. Naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, kemarau yang berkepanjangan, turunnya produksi pangan, terganggunya kesediaan air dan punahnya keanekaragaman hayati merupakan dampak perubahan iklim. Apabila tidak ada upaya penanganan, maka dampak berskala tsunami dapat terjadi.

Menghadapi perubahan iklim tersebut, diperlukan langkah – langkah strategis agar dampak yang ditimbulkan bisa dikurangi atau dihindari, diantaranya dengan membuat kesepahaman mengenai langkah bersama dalam menghadapi climate change ini.

Dalam beberapa dekade terakhir ini dunia telah benar-benar merasakan dampak terjadinya perubahan iklim. Dalam skala yang paling mikro dampak perubahan iklim tersebut secara langsung sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai negara kepulauan utamanya petani, nelayan, dan masyarakat adat. Demikian pula bencana ekologis yang datang silih berganti juga merupakan dampak langsung perubahan iklim. Untuk itu diperlukan gerakan bersama masyarakat sipil khususnya tokoh agama dan tokoh adat untuk mengatasi krisis global yang saat ini terjadi.

Para Tokoh sepenuhnya menyadari bahwa krisis perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan hidup umat manusia dan seluruh ciptaan-Nya merupakan konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalistik yang telah melahirkan ketidakadilan global (global injustice). Dengan spirit untuk tidak saling menyalahkan dan diilhami oleh setiap ajaran agama dan nilai kearifan lokal, tokoh agama dan tokoh adat di Indonesia setidaknya melahirkan 7 point penting dari hasil rembug nasional tersebut : dengan menyumbangkan dampak pada kerusakan lingkungan yang tak terhingga. Karena itu tatanan dunia baru yang menjamin keadilan, perdamaian dan kelestarian lingkungan hidup perlu dibangun bersama-sama

1. Berkomitmen untuk tidak henti-hentinya dalam memberikan penyadaran dan memotivasi setiap masyarakat di tingkat akar rumput melalui khutbah/ceramah/nasehat agama serta acara-acara adat dan tradisi dan forum-forum lain di tingkat akar rumput dengan mengkampanyekan serta memberi contoh kepada umatnya untuk hidup bersih, sederhana, peduli lingkungan, menggunakan energi-energi alternatif, menanam pohon di lingkungannya, melakukan penghemat pemakaian bahan bakar fosil dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat memberikan perlindungan bumi dari pemanasan global sebagai bagian dari ajaran penting agama dan kearifan lokal.

2. Meneguhkan komitmen untuk menjalin relasi dengan tokoh-tokoh agama dari negara lain untuk menuntut negara yang bersangkutan agar secara serius mengatasi dan mengantisipasi perubahan iklim global.

3. Mendesak masyarakat International untuk melakukan koreksi mendasar terhadap tatanan ekonomi global yang kapitalistik sebagai pemicu terjadinya pemanasan global.

4. Menuntut para pelaku ekonomi dunia sebagai pelaku perusakan alam Indonesia dan negara-negara industiri (industrial countries), khususnya Amerika Serikat dan Australia, untuk segera melakukan pemotongan secara besar-besaran (deeper cut) emisi gas rumah kaca, karena secara empiris 85% dari emisi dunia berasal dari negara-negara maju tersebut.

5. Meminta pertanggungjawaban negara maju untuk memberikan kompensasi bagi negara-negara berkembang sebagai bentuk hibah untuk memperbaiki ekologi yang sekian ratus tahun telah mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan konsumsi negara maju sehingga menyebabkan negara berkembang mengalami kerusakan ekologi.

6. Meminta kepada pemerintah untuk secara sungguh-sungguh berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan mengoreksi secara mendasar paradigma kebijakan pembangunan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai aspek lingkungan. Meninjau ulang peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung kegiatan pelestarian lingkungan hidup. Ketegasan sikap pemerintah dalam penegakan hukum khususnya dalam menindak secara tegas serta menghukum seberat-beratnya para pelaku illegal logging dan para perusak lingkungan lainnya serta aparat yang terindikasi melakukan konspirasi bagi terjadinya illegal logging dan perusakan lingkungan lainnya.

7. Mendorong kepada Pemerintah dan institusi pendidikan untuk memasukkan materi lingkungan hidup dan kearifan lokal kedalam kurikulum pendidikan pada setiap satuan pendidikan formal dan non-formal.

Transformasi Local Wisdom

Secara empiris, mengatasi pemanasan global nampaknya begitu sulit. Selalu saja harus dihadapkan pada berbagai kendala, mulai dari regulasi, penegakan hukum sampai kepada perilaku masyarakat yang kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup masih sedemikian rendah.

Adalah komunitas adat Baduy, satu diantara sekian banyak masyarakat adat di bumi Nusantara, yang tanpa pamrih – apalagi ingin mendapatkan kalpataru, nobel atau hayang kaalem - senantiasa setia menjaga amanat karuhun, melalui filosofi ’gunung ulah dilebur, lebak ulah diruksak.’ Pikukuh adat inilah yang menjadi benteng utama masyarakat Baduy dalam berusaha menjaga keseimbangan dan harmoni antara kehidupan manusia dengan makhluk Tuhan lainnya.

Dalam tradisi lisannya diriwayatkan, ”pulo jawa ieu aya riwayatna, nyanghulu ka Jungkulan, nunjang ka Balangbangan. Di Jungkulan aya Sangiang Sirah, di Balangbangan aya Sangiang Dampal. Tah ti Sangiang Sirah ka Sangiang Dampal eta aya udelna, ngarana Gunung Kendeng. Eta sakabeh gunung (sumber cai) nu aya, kudu dilestarikeun. Sabab san kahirupan manusa jeung mahluk hirup sajabana kahareupnakeun”.( Pulau Jawa ini ada aturannya, yaitu: Kepala berada di Ujung Kulon, kaki berada di Blambangan. Di Ujung Kulon bernama Sangiang Sirah, sedangkan di Blambangan bernama Sangiang Dampal. Dari Sangiang Sirah ke Sangiang Dampal terdapat pusatnya, bernama Gunung Kendeng. Semua gunung yang ada diantara Sangiang Sirah dan Sangiang Dampal harus dilestarikan dan dijaga keberadaannya. Sebab kesemuanya itu untuk kehidupan manusia serta seluruh makhluk hidup lainnya dimasa yang akan datang).

Strategi terpenting yang dipakai komunitas adat Baduy dalam menghadapi persoalan yang lebih disebabkan oleh ulah manusia ini diantaranya adalah dengan menegakkan hukum adat. Tak satupun pelanggaran terjadi yang luput dari sanksi adat, sekalipun pelakunya adalah pucuk pimpinan di komunitas adat. Beda dengan hukum positif di negara kita yang nyata tersurat, namun penuh formalistik, simbolik dan semu. Kearifan lokal seperti ini seyogianya dapat kita teladani dan transformasikan dalam kehidupan yang lebih kompleks. Jangan sampai alam enggan bersahabat lagi dengan manusia. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar: