Rabu, 26 November 2008

SADIM DAN CITRA URANG BADUY

Tak terbayangkan sebelumnya, di hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke 60, 17 Agustus 2005, darah segar harus mengalir dari tubuh tiga orang korban (Yadi, Aisah - korban luka-luka dan Kasmiah - korban meninggal) akibat penganiayaan dengan menggunakan sebilah pisau. Yang mengagetkan dari tindak pidana tersebut adalah pelakunya. Dialah Sadim bin Samin, seorang warga Kampung Cikeusik Desa Kanekes Kec. Leuwidamar Kabupaten Lebak, dimana komunitas masyarakat Baduy/Urang Baduy berada. Peristiwa tersebut merupakan kejadian pertama kali dalam sejarah keberadaan masyarakat yang mengasingkan diri (bukan masyarakat terasing) ini.

Peristiwa tersebut begitu menggegerkan, para tokoh adat Urang Baduy merasa kebingungan (bingung teu manggih tungtung, susah teu mendak lebah). Tak ayal proses peradilannya di PN Rangkasbitung menjadi pusat perhatian publik, termasuk masyarakat internasional seperti diberikan antropolog asal Australia, Dr.Tsu Ellen dkk. Hal ini dapat dimaklumi, karena ternyata hal tersebut juga tercatat sebagai peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi di lingkungan komunitas adat di Nusantara.

KRONOLOGIS

Sadim bin Samin yang usianya ditaksir 40 tahun lebih adalah warga Kampung Cikeusik, salah satu kampung dari tiga kampung Baduy Dalam yang kini jumlahnya sekitar 1400 jiwa, sementara jumlah warga Baduy Luar sekitar 9000 jiwa. Aktifitas keseharian lelaki yang dikenal tidak banyak tingkah tersebut banyak dihabiskan di huma/ladang miliknya. Namun ia pun sering diminta tenaganya oleh warga di luar Baduy, khususnya warga Kampung Cilebang Desa Sukaraja Kecamatan Sobang Kab. Lebak yang berbatasan langsung dengan kampung Cikeusik untuk membantu membersihkan ladangnya. Interaksi tersebut ia lakukan sudah belasan tahun lamanya dengan imbalan uang atau beras alakadarnya. Kegiatan menjadi buruh tani/ladang ini ia lakukan disela-sela waktu berhuma di kampungnya. Karena musim tanam/berladang di Baduy hanya 1 kali setahun, maka banyak waktu luang yang dimiliki untuk mengais rejeki tambahan. Sadim yang kurus, pendiam dan tertutup ini memiliki 8 anak dan 1 menantu, tergolong keluarga sangat sederhana. Namun demikian ia pun masih memiliki 1 leuit/lumbung padi sebagaimana dimiliki oleh warga/urang Baduy lainnya.

Pagi itu, 13 Agustus 2005 Sadim diamanatkan oleh warga kampung Cilebang untuk menyiangi ladang milik keluarga Yadi. Sadim pun penuhi amanat keluarga yang sudah ia kenal sejak lama tersebut. Tanpa memperdulikan nilai upah yang akan diberikan majikannya, ia bekerja di lahan yang berbatasan langsung dengan gunung Rorongo Congo. Salah satu gunung tertinggi di kawasan pegunungan Kendeng dan dianggap sebagai gunung yang dikeramatkan warga desa setempat. Dalam tradisi lisan masyarakat setempat, diyakini bahwa apabila gunung tersebut dikelola, selalu berakibat buruk bagi masyarakat, misalnya terjadi bencana kebakaran, banjir dan sebagainya. Karenanya berdasarkan kesepakatan bersama warga kampung Cilebang, gunung tersebut dijadikan hutan lindung yang tidak boleh diganggu. Bahkan dalam riwayat lisan masyarakat Baduy, konon dahulu pernah terjadi banjir besar di Pulau Jawa, puncak gunung tersebut adalah satu-satunya tempat yang tidak tertimpa banjir di wilayah Jawa Barat.

KONFLIK BATIN

Setelah empat hari mengerjakan ladang milik keluarga Yadi, Sadim teringat bahwa tepat pada 17 Agustus 2005 akan dilakukan satu upacara adat yang disebut Ngaseuk Serang, yakni penanaman padi pertama kali yang wajib diikuti oleh seluruh warga Baduy Dalam. Namun keluarga Yadi memintanya untuk tetap tinggal di rumahnya dan menggarap lahan yang mulai mengusik kawasan Gunung Rorongo Congo.

Nampaknya konflik batin menyelimutinya, disatu sisi harus pulang untuk mengikuti ngaseuk serang, di sisi lain harus terus mengerjakan ladang majikan. Dengan berat hati akhirnya ia putuskan untuk memenuhi keinginan majikannya. Kewajibannya sebagai urang Tangtu (sebutan untuk Baduy Dalam) untuk hadir di acara ngaseuk serang ia abaikan.

Hari rabu pagi (17/8), sekitar jam 05.30 wib, Sadim terjaga dengan muka merah dan badan gemetar. Yang ia rasakan dan ingat saat itu, ada seekor harimau dari hutan Rorongo Congo yang hendak menerkamnya. Dengan refleks ia ambil sebilah pisau yang biasa dipakainya di ladang dan berada di sampingnya untuk menghadapi serangan tersebut. Dengan membabi buta ia hujamkan ke berbagai sasaran. Tapi sayang, kenyataanya, yang ia tikam bukanlah harimau, melainkan majikannya, Yadi, istrinya Aisah dan ibu mertuanya Kasmiah, yang juga tidur di ruang tengah. Yadi dan Aisah masih sempat melarikan diri ke luar rumah, tapi sayang, Kamsinah yang sudah berusia tua itu tak mampu berbuat apa-apa hingga ia tewas di tempat kejadian.

NGASEUK SERANG

Ngaseuk Serang adalah salah satu dari serangkaian upacara adat yang berhubungan dengan aktifitas ngahuma (berladang). Dimana wujud dari upacara ini adalah penanaman padi yang pertama kali dilakukan di lingkungan masyarakat, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Upacara ini dilakukan seluruh warga dewasa di semua kampung Baduy Dalam (Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana) yang pelaksanaannya bisa dalam satu hari yang sama atau di hari yang berbeda selang satu hari.

Disamping dilakukan oleh warga masing-masing kampung Baduy Dalam, upacara ini dihadiri pula oleh warga dewasa Baduy Luar yang secara suka rela berduyun-duyun menuju Huma Serang yang luasnya tidak lebih dari setengah hektar. Warga Baduy Luar bebas memilih untuk mengikuti upacara Ngaseuk Serang di salah satu Kampung Baduy Dalam. Biasanya mereka memilih berdasarkan kedekatan antara kampungnya dengan Huma Serang.

Warga Baduy Dalam mengenakan seragam berwarna putih alam, dengan kombinasi biru tua. Sedangkan pakaian warga Baduy Luar berwarna hitam dengan kombinasi biru tua. Setiap laki-laki memegang aseuk/tongkat yang runcing untuk melubangi lahan tempat butiran padi ditanam. Mereka berjejer di barisan terdepan. Sedangkan kaum perempuan memegang butiran padi yang siap ditanam berada di barisan belakang, untuk mengikuti jejak lelaki.

Jumlah peserta upacara ini biasanya lebih dari seribu orang, namun uniknya tak melahirkan kegaduhan atau hiruk-pikuk. Yang terdengar hanya suara alam dan alunan musik yang terbuat dari bambu, bernama Angklung Buhun yang hanya pada acara ngaseuk serang itulah diperdengarkan setiap tahun sekali. Upacara berlangsung begitu khidmat dan sakral. Ngaseuk Serang hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam, mengingat lahannya relatif sempit, sementara pesertanya begitu banyak.

Ngaseuk serang adalah simbol dimulainya musim tanam padi. Seluruh warga tidak diperkenankan ngaseuk (menanam padi di ladang/huma masing-masing) sebelum dilaksanakan upacara ngaseuk serang. Karena itulah penanaman padi disana dilakukan secara serentak, yang memiliki resiko relatif kecil terserang hama.

Di acara ini pula nampak kebersamaan dan kesetaraan, tak peduli ia seorang pejabat adat atau rakyat jelata, semuanya bahu-membahu bekerja dan saling membantu.

HUKUM POSITIF DAN HUKUM ADAT

Persoalan yang kemudian muncul atas kisah tragis ini adalah bahwa Sadim harus dihadapkan pada dua persoalan, yakni menghadapi ancaman hukum positif sekaligus hukum adat yang berlaku di Baduy. Sementara semua pihak mahfum bahwa negara menjamin hak-hak dan kewajiban setiap warganya. Sadim harus dihadapkan pada dua peradilan. Terlepas dari dapat dipertanggung jawabkan atau tidaknya perbuatan Sadim, pertanyaannya kemudian, adilkah seorang warga negara Indonesia dihadapkan pada dua peradilan atas satu perbuatan hukum yang dilakukannya?

Sesaat setelah kejadian, Sadim yang polos dan tak mengerti hukum (positif) ini langsung diamankan di Polsek Muncang. Pada saat dilakukan pemeriksaan, Sadim yang tidak cakap berbahasa Indonesia itu di-BAP tanpa didampingi pembela.

Sesaat setelah mendapat berita dari aparat kepolisian, Jaro Dainah, Jaro Pamarentah/Kepala Desa Kanekes langsung menuju lokasi kejadian. Sebagai bentuk dari tanggung jawabnya, Jaro Dainah membantu keluarga korban dengan menanggung biaya selama perawatan di rumah sakit Adjidarmo Rangkasbitung, membantu acara penguburan korban meninggal, acara 7 hari hingga acara 40 harinya.

Sementara para tokoh adat Baduy lainnya mengadakan musyawarah dan langsung mengamankan anak istri Sadim di rumah Jaro Asmari/Jaro Dangka Cibengkung, tempat hukuman bagi warga Cikeusik apabila melakukan pelanggaran adat. Hukum adat Baduy menyatakan bahwa jika ada salah satu anggota keluarga melakukan pelanggaran adat yang berat, maka anggota keluarga lainnya harus turut bertanggung jawab, dengan istilah bela pati. Kejadian ini sangat menyakitkan masyarakat Baduy. Sebab dalam sejarah keberadaan masyarakat Baduy, ini peristiwa pertama. Jangankan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, berselisih faham hingga meneteskan darah saja sudah merupakan pelanggaran adat yang sangat berat.

Atas sikap kooperatif Jaro Dainah, kemudian keluarga korban membuat surat pernyataan di atas materai, tidak mempersoalkan periwtiwa tersebut ke aparat penegak hukum. Yadi dan keluarga sadar bahwa hal tersebut merupakan musibah dan cobaan dari Allah yang harus diterimanya dengan ikhlas.

Hingga beberapa pekan setelah kejadian, tak satupun pihak luar (baik pemerintah, LSM, budayawan, LBH) yang memberikan perhatian atas peristiwa ini. Untungnya atas inisiatif sendiri, Lembaga Advokasi Masalah Publik (LAMP) yang saat itu masih dipimpin penulis, berkunjung ke Baduy. Atas permohonan lembaga adat, LAMP dengan pengacaranya, Razid Chaniago, MH., secara suka rela mendampingi Sadim.

Alhasil, atas upaya LAMP, perhatian dan uluran tangan dari pihak lain pun berdatangan, seperti bantuan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA). Termasuk menghadirkan Prof. Nyoman Nurjaya, Guru Besar Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang memberikan kesaksian di PN Rangkasbitung serta Dra. Sugiarti, M.Kes., psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang memeriksa psikologi Sadim di Rutan Rangkasbitung.

Dalam salah satu persidangan, Prof. Nyoman, Saksi Ahli asal Bali itu merekomendasikan agar PN Rangkasbitung mengembalikan Terdakwa kepada lembaga Adat Baduy untuk diproses dengan menggunakan hukum adat. Sementara hasil analisis psikolog UI, menyebutkan bahwa intelegensia Sadim sangat rendah dan pada saat kejadian ia mengalami gangguan psikologis, yakni konflik batin antara harus pulang ke kampung halamannya untuk ikut upacara ngaseuk Serang dengan menjalankan perintah majikannya menggarap lahan di gunung Rorongo Congo yang merupakan salah satu hutan tertutup dan tidak boleh digarap.

Setelah berbulan-bulan lamanya, akhirnya pada sidang terakhir di PN Rangkasbitung, 23 Maret 2006, dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Sadim divonis 7 bulan 8 hari dari 4 tahun penjara yang dituntutkan oleh Jaksa Joko S, dan Sri Harsini. Saat itu, Jaksa maupun pembela menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut.

Namun selang beberapa hari, Jaksa Sri Harsini mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Karena itu Kuasa Hukum Terdakwa Sadim juga mengajukan hal yang sama.

Kini Sadim diamankan di rumah Asmari, Jaro Dangka Cibengkung, yang lokasinya berada di wilayah Desa Bojong Menteng. Sidang adat belum bisa dilaksanakan sebelum upacara Kawalu (Kawalu Tutug/kawalu akhir) selesai bulan depan yang kemudian diikuti dengan serangkaian upacara adat lainnya seperti upacara Kalanjakan Kapundayan, Seren Tahun dan Seba Tahun. Di samping itu saat ini kondisi fisik dan mental Sadim masih dalam kondisi sakit. Ayah Mursyid alias Alim, seorang tokoh Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo bertutur, “samemeh disidang Panyampurnaan, Sadim kudu dicageurkeun heula. Sabab ayeuna awak jeung batinna gering. Kukituna ayeuna diubaran ku Jaro Dangka Cibengkung.” (sebelum disidang adat - upacara penyempurnaan, Sadim harus disembuhkan terlebih dahulu. Sebab saat ini kondisi fisik dan jiwanya masih sakit. Oleh karenanya saat ini Sadim sedang diobati oleh Jaro Dangka Cibengkung).

Atas kejadian ini, kampung Cikeusik masih tertutup untuk dikunjungi tamu dari luar Baduy. Mereka masih larut dalam kesedihan. Karena akibat peristiwa yang memprihatinkan ini, citra masyarakat yang lebih dari 10.000 jiwa (baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar) menjadi tercoreng.

Meskipun upacara persidangan adat belum dapat dilaksanakan, akan tetapi sudah dapat dipastikan, salah satu putusannya nanti adalah bahwa Sadim tidak lagi diperbolehkan tinggal di Baduy Dalam hingga akhir hayatnya. Hukuman ini jelas begitu berat, karena bentuk hukumannya bukan hanya fisik, melainkan juga hukuman batin.

Untuk mempersiapkan upacara adat, masing-masing kampung yang ada di lingkungan desa Kanekes (sekarang 59 kampung) melakukan iuran untuk pembiayaan yang membutuhkan sekitar enam sampai tujuh juta rupiah, karena rangkaian upacara sedemikian panjang dengan beragam syarat.

Lantas, apa hikmah peristiwa tersebut bagi kita? Mungkin jawabannya, biarkan nurani kita yang menjawab.

6 komentar:

Ferry Fathurokhman mengatakan...

Assalamualaikum,

Mas Suhada yang saya hormati, saya Ferry Fathurokhman, urang Serang dan mengajar di FH Untirta. Saat ini saya mengikuti program S2 Hukum undip. Saya berencana mengangkat kasus Sadim menjadi tesis. Ruang lingkupnya kuranglebih hukum pidana adat baduy, kedudukan hukum adat di Indonesia dan pengaturan hukum adat dalam konsep (RUU) KUHP. Saya ingin bertemu mas Suhada lebih lanjut untuk informasi lebih lanjut. Dimana saya bisa hubungi? Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak.
Ferry (081381705636), ferry_fatur@yahoo.com.

Ferry Fathurokhman mengatakan...

Masya Allah, saya lihat profl Mas Suhada lebih lanjut. Suhada? Pandeglang? Otak saya berputar. Apakah ini Suhada yang berjasa memicu pengungkapan Korupsi pinjaman 200 milyar Suap di Pandeglang?

Marcella Elwina S mengatakan...

Mas Suhada yth.

Nama saya Marcella E.S. Saya sedang studi lanjut di Undip.
Saya hendak merepotkan Mas Suhada. Saya sangat membutuhkan Peraturan Desa Kanekes no. 1 Tahun 2007 untuk tugas akhir yang sedang saya lakukan.
Ketika berkunjung ke Kanekes, perdes milik saya, saya berikan pada Jaro Dainah. Ternyata soft copi di komputer saya hilang karena komputer kena virus dan saya instal ulang.
Apakah Mas Suhada memiliki soft copi atau hard copinya?
Bila ada, dapatkah mas suhada mengirimkannya pada saya.
Bila dalam bentuk hard copy dan harus dikirim, karena membutuhkan biaya, saya bersedia mengganti biaya copi dan pengiriman pada mas Suhada.
Terimakasih banyak sebelumnya.
Tulisan Mas Suhada banyak sekali membantu saya.

Salam, Marcella
(marcella_simandjuntak@yahoo.com)
(081 - 5651 - 5763)

Marcella Elwina S mengatakan...

Mas Suhda yth.

Saya Marcella, saat ini sedang studi lanjut di program doktor Hukum Undip. Sebagian disertasi saya mengangkat sanksi pidana adat pada masyarakat Baduy.
Saya mau bertanya dan meminta tolong. Apakah Mas Suhada punya Peraturan Desa Kanekes No. 1 Tahun 2007 dalam bentuk soft copy atau bila tidak dalam bentuk hard copy.
Ketika saya berkunjung ke Kanekes, saya memberikan Peraturan tersebut pada Jaro Dainah dan Pak Haji Sapin. Namun ternyata soft copy yang ada di komputer saya hilang, karena ada virus dan harus instal sistem yang baru.
Bila Mas Suhda memliki perdes tersebut dan bisa menolong, saya akan sangat berterimakasih.
Alamat e-mail saya marcella_simandjuntak@yahoo.com
Telp 081 5651 5763

uday suhada mengatakan...

Saudaraku Ferry dan Marcella, maaf sy baru sempat buka lagi blog ini. Jadi tak secepat yg diharapkan jawabannya. Kalau ada hal yg urgent, silakan hubungi sy di alamat email: udaysuhada@yahoo.com
Trims

St. Nur Latipah mengatakan...

Ass wr wb. Kasus pembunuhan ini dibuat oleh Gus TF sakai dalam cerpennya. Pak, saya sedang menganalisis cerpen yang bercerita tntg pembunuhan yang dilakukan Sadim. Bagaimana saya bisa memeroleh data tntg kasus pembunuhan itu di tahun 2013 ini ya pa?