Rabu, 26 November 2008

KETIKA URANG BADUY PUN BERKATA : TIDAK!

“Kami mah ngeun saukur bisa ngabantu sasukana, sadugana, sakawasana, sakaweratna….. kulantaran kami geh manusa, boga bates kasabaran, jadi kami teu sanggup dijadikeun tontonan”…….. (Jaro Dainah)

“Kalau Orang Baduy Tolak Objek Wisata”, itulah judul berita satu halaman di harian Kompas edisi Jum’at, 21 April 2006. Sebuah tulisan yang tentu saja kurang sedap dan mengejutkan bagi publik. Sebab hal ini menyangkut citra Urang Baduy sekaligus peringatan besar bagi dunia pariwisata. Mengapa Urang Baduy bersikap demikian?.

Sikap yang diambil komunitas sosial yang sering juga disebut Urang Kanekes – diambil dari nama desa, atau Urang Rawayan - yang berasal dari kata Raraweuyan) tentu sangatlah beralasan. Dengan menggunakan logika sederhana dan bernada tanya, salah seorang petugas adat setempat, Marsadi berkata, “moal enya kami kudu daek dijadikeun objek wisata? Nubener bae Pa!” (masa’ iya kami harus mau dijadikan objek wisata? Yang benar saja Pak!). Ungkapan yang spontan dan nampak tau betul tentang makna dari istilah objek.

Menurut hemat penulis, ungkapan tersebut merupakan akumulasi dari kekecewaan Urang Baduy terhadap pemerintah. Sebab dalam mengambil berbagai kebijakan yang menyangkut dunia pariwisata, selama ini mereka tidak dilibatkan sebagai salah satu pihak pelaku pariwisata (budaya). Baik dalam proses perencanaan, maupun pelaksanaannya.

Di samping itu pada dasarnya privasi mereka sangat terganggu dengan hiruk-pikuk para pengunjung yang sering bersifat massif dalam waktu yang sama, khususnya di akhir pekan dan hari libur nasional. Dengan hadirnya wisatawan di hampir setiap hari - dengan beragam orientasi, dapat dibayangkan betapa terganggunya aktifitas keseharian mereka.

PENCEMARAN LINGKUNGAN

Sebagai masyarakat yang memegang teguh sifat kekeluargaan melalui simbol tanpa pagar rumah, tentu saja mereka tidak mungkin mengusir tamu yang berkunjung. Akan tetapi lagi-lagi dampak negatif lain yang sulit dihindari dari kehadiran tamu tersebut, seperti pencemaran lingkungan. Sampah an-organik seperti kemasan air mineral, plastik, botol minuman suplemen yang berserakan, dibuang sembarangan di sepanjang jalan setapak misalnya, nyata-nyata mengganggu kebersihan dan kelestarian lingkungan. Hampir semua perbekalan makanan yang dibawa pengunjung menghasilkan sampah, meski dari kalangan pecinta lingkungan sekalipun. Belum lagi proses pendistribusian nilai-nilai budaya asing (bagi mereka) yang sadar ataupun tidak dapat berpengaruh terhadap pola perilaku masyarakat setempat.

PIKUKUH ADAT

Sedangkan sedikit sekali di antara para tamu yang berkunjung mengetahui dan menghormati pikukuh adat, bahwa dalam sistem kepercayaan mereka, sebenarnya tugas hidupnya adalah bertapa (bagi urang Baduy Dalam) dan menjaga orang yang bertapa (bagi urang Baduy Luar), yang bermakna agar tidak merubah perilaku dan cara hidup.

Belum lagi bahwa di waktu-waktu tertentu, ketika upacara adat Kawalu (Kawalu Mitembeuy, Kawalu Tengah dan Kawalu Tutug/Akhir) misalnya, sebetulnya Urang Baduy tertutup untuk dikunjungi selama tiga bulan berturut-turut. Akan tetapi atas ketidak tahuan, entah sengaja, masyarakat umum tetap saja berkunjung ke kawasan yang luas wilayahnya mencapai 5.135 ha tersebut.

Dalam tradisi lisan Urang Baduy, (alm) Jaro Pulung, Kepala Desa Kanekes sebelum Jaro Dainah, pernah mengungkapkan “sedeng nagara bahan dibangun, nagara bahan dirobah, ngeun wiwitan mah kudu tetep diteguhkeun, kudu dipatuhkeun” (sementara negara niscaya akan dibangun, negara akan dirubah, akan tetapi titipan awal dari Adam Tunggal harus tetap dipegang teguh dan dipatuhi). Dalam keterangan lainnya dinyatakan, ieu aya benerna, aya salahna. Benerna, aya riwayatna, salahna euweuh kitabna, euweuh bukuna (hak ini ada benarnyam ada salahnya. Benarnya, karena ada riwayatnya, salahnya karena tidak ada buku atau kitabnya).

Naif memang, jika saja kita yang mengklaim sebagai masyarakat modern dan beradab, menjadikan komunitas sosial yang penuh kesederhanaan dan mengedepankan kejujuran melalui filosofi lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung) tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek/tontonan yang semata-mata berorientasi pada kepentingan dunia pariwisata. Padahal –tanpa bermaksud berlebihan- terdapat 1001 local wisdom (kearifan lokal) yang bisa diteladani dari cara hidup mereka.

Belum lagi jika dikaitkan dengan konsep pariwisata yang sustainable, maka akan banyak aspek yang harus dipenuhi, misalnya keterlibatan masyarakat setempat dalam penyelenggaraan parisiwata; sarana dan prasarana yang harus disiapkan untuk para wisatawan dan sebagainya.

Syahdan, sejak 1992 Pemda Kabupaten Lebak telah menetapkan kawasan Baduy sebagai salah satu obyek wisata. Atas kebijakan tersebut mulailah para wisatawan berduyun-duyun berkunjung menelusuri jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lainnya, yang berdasarkan catatan di buku tamu yang disediakan aparat desa Kanekes, rata-rata pengunjung mencapai 15.000 orang per tahun. Sejak itu pula, secara evolusioner Urang Baduy banyak mengenal keragaman pola perilaku tamu, yang kerap ditiru oleh sebagian kecil warganya, khususnya kalangan generasi muda, seperti yang pernah disaksikan langsung oleh wartawan Radar Banten beberapa waktu lalu; warga Baduy Dalam sudah sedemikian akrab dengan bahasa prokem seperti istilah saya mau boker dulu; mampus gua dan lain sebagainya.

Selang setelah lebih dari sepuluh tahun berlakunya kebijakan tersebut, menyusul upaya promosi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Banten yang menjadikan kawasan Baduy sebagai salah satu asset wisata unggulan. Namun dua kebijakan tersebut mengabaikan keterlibatan masyarakat setempat.

Oleh karena itu tidak heran manakala Urang Baduy mengambil sikap dengan berkata TIDAK!. Sikap tersebut diambil sebagaimana telah dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Naga yang ada di Tasikmalaya beberapa waktu yang lalu dengan alasan yang tidak jauh berbeda dengan alasan Urang Baduy.

Kami mah ngeun saukur bisa ngabantu sasukana, sadugana, sakawasana, sakaweratna….. kulantaran kami geh manusa, boga bates kasabaran, jadi kami teu sanggup dijadikeun tontonan”…….. (Kami hanya membantu seikhlasnya, semampunya, sebisanya, sekuatnya….. karena kami juga manusia, punya batas kesabaran, maka kami tak sanggup dijadikan tontonan - Jaro Dainah).

Untaian kata di atas merupakan ungkapan kekecewaan yang mendalam. Karena itu nampaknya kita harus belajar lagi tentang makna memanusiakan manusia, tidak sebaliknya. Sebagaimana mereka menunda proses hukum adat sebelum kondisi fisik dan psikhis (alm) Sadim normal. Walaupun Tuhan berkehendak lain, sebelum upacara nyampurnakeun itu digelar, Sadim sudah dijemput-Nya. Selamat jalan Sadim. Dalam kedukaan, kami banyak mengambil hikmah dari kisah tragismu. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar: