Selasa, 25 November 2008

MENGAPA DILARANG SEKOLAH DI BADUY ?

“Kusabab dilarang sakola, lamun sakola bisa jadi pinter, lamun pinter bisa minteran batur. Contona kiwari nagara urang keur acak, eta anu nyieun acak, jalma anu palalinter”

Pada saat saya duduk di sudut ruangan salah satu rumah warga di perkampungan Baduy Luar, ditemani secangkir kopi suguhan tuan rumah, tampak tiga wajah polos setengah baya yang seksama memperhatikan gerak-gerik tamunya. Dari obrolan panjang yang diiringi rinai gerimis, sebuah pernyataan muncul dan mengingatkan saya pada banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat kita yang sangat plural. Yaitu ketika sebuah pertanyaan dilontarkan : “mengapa adat melarang warganya sekolah?”

Jawaban sederhana dari salah seorang diantaranya adalah “Kusabab dilarang sakola, lamun sakola bisa jadi pinter, lamun pinter bisa minteran batur. Contona kiwari nagara urang keur acak, eta anu nyieun acak, jalma anu palalinter.” Artinya “yang menyebabkan adat melarang warganya bersekolah, jika sekolah maka ia bisa pintar, jika pintar, ia dapat membodohi/menipu orang lain. Contohnya saat ini negara kita sedang kacau, hal ini disebabkan oleh mereka yang pintar.” Mereka memilih bodoh, jika harus dihadapkan pada adanya kemungkinan untuk menipu orang lain.

Terlepas dari kesalahan cara berfikir serta apakah pada awalnya (dalam sejarahnya) pimpinan komunitas sosial yang tinggal di pegunungan Kendeng ini menggunakan salah satu teori kekuasaan yang dikemukakan oleh Machievelli (yang mengatakan bahwa untuk melanggengkan kekuasaannya, maka seorang pemimpin harus melakukan proses pembodohan terhadap rakyatnya) atau tidak, sangat tampak bahwa mereka mampu menggunakan logika kodratinya dalam menerjemahkan sebuah fenomena aktual yang terjadi di bumi Nusantara ini.

Dalam konteks kekinian, tampaknya kita patut bercermin kepada prinsip hidup mereka: jujur, dengan falsafah hidupnya yang populer “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung,” yang artinya : “panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung.” Sebab tatkana seorang anak beranjak dewasa, ia sudah dibekali sebuah ‘wasiat’ oleh orangtua atau tokoh adat setempat. Wasiat itu antara lain : “hirup eta kudu tutulung kanu butuh; tatalang kanu susah; mere kanu teu boga; nganteur kanu sieun; nyaanganan kanu poekeun” (hidup itu harus memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan; meminjamkan kepada kepada yang tertimpa musibah; memberi kepada yang tidak punya; mengantar orang yang ketakutan; dan memberi penerangan kepada orang yang kegelapan).

Lebih jauh Sultan Banten (saat itu dikenal dengan nama Tubagus Buang atau Ratu Wakil-420 tahun silam) pernah mengamanatkan sesuatu kepada masyarakat Baduy (luar dan dalam) melalui seorang Puun Lanting : “ulah gedug kalinduan, ulah rigrig kaanginan, ulah limpas kacaahan. Lamun henteu, matak puhpul kapangaruhan, matak teu awet juritan, matak tambur kamenakan, matak sangar kanagara; leutik pangarahna, leutik pangaruhna kana ngabangun nagara.....” (jangan takut pada tantangan, jangan goyah diterpa angin, jangan terbawa arus. Jika tidak, akan hapus terpengaruh, akan tidak lama bertahan, akan sirna kesenggangan, akan merusak tatanan negara; kecil pengaruhnya dalam proses pembangunan bangsa).

Seorang pengikut tradisi Weberian (Peter L. Berger) dalam bukunya Pikiran Kembara Modernisasi dan Kesadaran Manusia, bersama Brigitte Berger dan Hansfried Kellner menyatakan bahwa akibat adanya modernisasi, manusia (di negara dunia ketiga khususnya) hanya dapat memfungsikan sistem norma (termasuk norma agama) sebagai simbol-simbol belaka). Nilai-nilai kemanusiaan sudah terreduksi oleh modernisasi itu sendiri. Padahal modern justru akan menciptakan kondisi dimana manusia menjadi terasing di lingkungannya sendiri. Manusia hanya dapat dikontrol melalui approach security (pendekatan keamanan). Sebab tidak ada lagi kesadaran kemanusiaannya.

Terjebak Simbol

Ungkapan tersebut tampaknya sangat relevan jika kita coba ilustrasikan melalui kondisi obyektif yang terjadi di tanah air saat ini, khususnya di Banten. Dengan hadirnya paradigma baru (era otonomi daerah), kita justru sudah terjebak dalam mengejawantahkan semua itu. Padahal identitas “agamis, historis, patriotis atau motto masing-masing daerah seperti : “Serang Bertaqwa”, “Lebak Bertauhid” atau “Pandeglang Berkah” (dulu Betah melalui Perda nomor 22 tahun 2001) yang dapat kita lihat dengan mudah di berbagai lokasi strategis. Namun sayang, tampaknya motto-motto tersebut hanya sebatas simbol dan tak lebih dari sekedar jargon-jargon yang tampak seperti ‘gunung es’ yang didasarnya tidak kokoh.

Sebut saja fenomena SADIGO (salah sedikit, golok) yang menggejala di berbagai daerah dan menambah perbendaharaan social problem dewasa ini. Hanya karena masalah sepele dan belum jelas ujung pangkal permasalahannya, orang demikian mudah orang melakukan tindakan kekerasan, bahkan dengan tega menghabisi nyawa sesamanya. Pada tiap kasus curanmor yang pelakunya tertangkap massa misalnya, maka dapat dipastikan bahwa pelaku akan berakhir dengan ‘tinggal nama’. Aparat kepolisian yang kebetulan berada di TKP pun hanya dapat menyaksikan sebuah peristiwa (tak ada bedanya dengan kisah masyarakat Barbar pada jaman pra-sejarah), dan ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Nilai-nilai kemanusiaan, norma hukum (positif) dan norma agama yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, justru sudah dinodai oleh kesalahan yang teramat fatal tentang cara berfikir dan bertindak dalam proses ‘pencarian’ dan memperjuangkan kebenaran (yang pada dasarnya kebenaran tersebut masih sangat relatif). Tampaknya kita memang sudah asing bahkan tidak mengenal lagi istilah humanization (memanusiakan manusia). Tidak ada lagi tenggang rasa dan toleransi (menghargai) pendapat orang lain yang dalam agama Islam, perbedaan pendapat justru merupakan sebuah rahmat yang tak ternilai harganya (di mata Allah). Yang ada adalah “peradaban yang tak beradab”.

Sebuah Kepercayaan

Dalam konteks kekinian, lagi-lagi pendapat Berger dkk di atas bisa kita pakai. Tampaknya approach security benar-benar harus dilakukan, meskipun ada yang harus dikorbankan. Sebab kesadaran kemanusiaan kita sudah tidak ada lagi. Apa yang dikemukakan Cak Nur (cendekiawan Muslim) dengan konsep dasar yang dicita-citakan, yaitu masyarakat madani, harus berhadapan dengan kenyataan. Namun sayang, kondisi riil yang ada di jajaran aparat penegak hukum saat ini justru sangat memprihatinkan dan kita belum dapat banyak berharap.

Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum sudah semakin pudar dan terkikis. Disini lah kita dapat melihat betapa mahalnya sebuah kepercayaan. Belum lagi polemik yang terjadi di internal organisasi kepolisian itu sendiri yang kian hari semakin meruncing. Salah satu dampak dari kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid dengan pemberhentian Kapolri Jenderal Suroyo Bimantoro. Situasi ini jelas menempatkan aparat kepolisian pada posisi yang sulit. Untuk membangun citra yang sudah sedemikian rusak, maka celah yang harus dimanfaatkan oleh Jenderal Bimantoro beserta jajarannya saat ini, pada dasarnya sangat terbuka. Salah satu proses penyelesaian kasus Tommy Soeharto dan atau Ibrahim yang begitu meresahkan rakyat. Disinilah ujian berat dan menjadi salah satu penentu dalam memulihkan kepercayaan masyarakat.

Kembali pada pembahasan awal, bahwa ungkapan yang hanya menggunakan logika kodrati, warga Baduy serta tinjauan kritis Berger dkk di atas, menunjukkan adanya korelasi dengan kondisi obyektif di masyarakat kita saat ini. Memang, keterpurukan yang dialami oleh bangsa ini justru lebih disebabkan oleh orang-orang pintar dengan ambisi pribadi (minimal kelompoknya) masing-masing. Sikap primordialis yang seharusnya diterapkan pada tataran tertentu, justru lebih dikedepankan diatas kepentingan yang lebih besar yakni bangsa dan negara.

Segingga tidak heran jika banyak terdengar upaya-upaya yang dilakukan demi kepentingan pribadi tanpa nurani dengan mengatasnamakan rakyat. Imbasnya dari waktu ke waktu jumlah masyarakat yang termarginalkan/tertindas/terpinggirkan/teraniaya, atau dalam terminologi Islam disebut masyarakat mustadz’afin semakin bertambah. Sementara kita semua sadar bahwa do’a orang-orang mustadz’afin atau tertindas akan sangat didengar Tuhan, sebuah keniscayaan.

Setumpuk kasus penindasan yang dilakukan oleh orang ‘pintar’ (tapi sayang tak bermoral), masih segar dalam benak kita. Dari mulai kasus manipulasi dokumen tanah masyarakat desa, kasus penggelapan dana KUT, sampai pada kasus berskala nasional seperti kasus Bulog dan sebagainya. Jika hal ini terus menerus berlanjut, (sebagai bahan renungan) tidak tertutup kemungkinan adanya sebuah gerakan yang dilakukan masyarakat tertindas saat ini, yang saya istilahkan sebagai revolusi yang dilakukan oleh rakyat mustadz’afin dapat terjadi. Permasalahannya hanya terletak pada perputaran waktu saja. Wallahu’alam bissawab.

Tidak ada komentar: