Selasa, 25 November 2008

KONSERVASI BADAK SUNDA

Belakangan ini Rhino Sondaicus (bukan Rhino Javaicus) yang secara harfiah berarti Badak Sunda yang bercula satu dan satu-satunya di dunia itu ramai dibicarakan. Para pihak bereaksi keras atas wacana yang dikemukakan pihak World Wide Foundation (WWF) tentang rencana untuk membuat 2nd population/habitat di luar Banten. Reaksi ini tentu wajar, mengingat Badak Ujung Kulon selama ini sudah menjadi icon Banten (lebih khusus lagi Kabupaten Pandeglang). Konon - sebagaimana diakui pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) - akurasinya belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, populasi salah satu jenis hewan langka di dunia itu kini jumlahnya hanya sekitar 54 ekor. Mengingat pihak BTNUK belum memiliki teknologi yang canggih, maka metode yang dipakai untuk mengetahui populasinya dilakukan dengan menghitung jejak langkah kaki berdasarkan ukurannya serta kotorannya saja.

Disisi lain publik bertanya, memangnya badak itu masih ada? Jangan-jangan kita hanya meributkan sesuatu yang tidak jelas? Demikian kira-kira diantara pernyataan yang muncul, sebagaimana juga muncul dari ketua Indonesian Tourism Club dalam seminar masa depan pariwisata Banten yang diselenggarakan Litbang Radar Banten (29/8). Disini pihak terkait memang perlu menjelaskan kepada publik secara resmi. Namun untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis nyatakan bahwa badak Ujung Kulon masih ada. Salah satu bukti bahwa badak itu masih ada, pada pertengahan Juni yang lalu petugas WWF sempat merekam seekor badak yang sedang berendam di salah satu bibir pantai Ujung Kulon dengan durasi sekitar 4 menit yang diperlihatkan di ajang diskusi konservasi badak di carita pada tanggal 22 Agustus yang lalu.

Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang terkategorikan sebagai salah satu world heritage site/situs peninggalan dunia, disebut-sebut sebagai kawasan yang kini terancam, khususnya ancaman kepunahan badak yang dalam tradisi lisan Baduy disebut Si Putri itu. WWF menyebutkan ada beberapa ancaman dimaksud, diantaranya: pertama, bencana alam gempa tektonik yang berpusat di sekitar pulau Panaitan yang memungkinkan melahirkan tsunami serta letusan anak gunung Krakatau; kedua, banyaknya tanaman langkap (sejenis palem) yang mengakibatkan berkurangnya rumput pakan badak; ketiga, keberadaan banteng yang sudah over population dan menguasai pakan badak; keempat, perubahan iklim, dimana pemanasan global saat ini sudah mencapai 0,8 dari 2o yang menjadi batas toleransi, termasuk perubahan vegetasi.

Wacana 2nd Population

2nd population (populasi kedua) Badak Ujung Kulon sebenarnya merupakan gagasan yang muncul dari pihak WWF sejak tahun 1995. Yakni gagasan tentang kemungkinan untuk membantu perkembang biakan (penambahan habitat). Dengan cara memilih sepasang badak pilihan, yang atas dasar kajian ilmiah merupakan bibit unggul.

Pemikiran dimaksud mereka jabarkan dalam beberapa tahapan diantaranya dengan melakukan kajian untuk memilih/menetapkan habitat yang sesuai; pemilihan individu yang cocok sebagai founder (berdasarkan DNA); proses adaptasi – dilokalisir sebelum dipindahkan; proses pemindahan; dan pemantauan pasca pemindahan. Pemilihan habitat baru ini sendiri terdiri dari 13 ktireria yang ideal. Sedangkan kandidat lokasi yang disebutkan adalah Taman Nasional Gunung Halimun Gunung Salak (TNGHS) seksi Lebak, Taman Nasional Berbak – Westlands International di Jambi dan Rimba Harapan – Birdlife di Jambi. Namun survey yang sudah dilakukan 2 tahun terakhir baru di TNGHS dengan para ilmuwan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sedangkan TN Berbak dan Rimba Harapan baru mengandalkan data sekunder dari Birdlife, rapid assessment.

Pemilihan founder sendiri akan didasarkan pada informasi genetik yang akan membangun kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Columbia University serta memanfaatkan para ahli translokasi dari India dan Nepal. Adapun dalam proses adaptasi, pihak WWF menyebutkan fasilitas semi-captive dan pemantauan kesehatan yang intens serta melihat kemampuan adaptasi/seleksi. Sedangkan dalam proses pemindahan hal yang harus dipersiapkan adalah capture (bius atau perangkap), togging / radio collar serta transportasi dari lokasi ke fasilitas adaptasi dan transportasi dari fasilitas adaptasi ke habitat yang baru. Dalam perencanaan disebutkan juga pemantauan pasca pemindahan, diantaranya protocol pemantauan kesehatan, pemantauan perilaku, rapid response unit di habitat baru, pemantauan home range dan pola makan.

Jika gagasan tadi direalisasikan, bisa dibayangkan betapa banyaknya waktu, biaya, tenaga dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan. Sebab itu belum termasuk bagaimana melakukan pemberdayaan masyarakat di sekitar habitat baru. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, siapa yang menjamin bahwa sepasang badak itu akan selamat, aman dan mampu berkembang biak sebagaimana yang diinginkan?

Tentu saja gagasan tersebut diharapkan sesuatu yang tulus dengan niatan menjalankan amanah Tuhan untuk menjadi rahmatan lil’alamin (dalam hal ini menyelematkan Badak dari kepunahan) dan bukan sebagai project oriented.

Alternatif Solusi

Seperti diungkapkan di awal, gagasan WWF langsung mendapat reaksi keras dari masyarakat Banten termasuk pemerintah daerah setempat. Berita ini sempat mewarnai beberapa media cetak dan elektronik. Secara umum semuanya menolak gagasan tersebut. Alasannya Badak adalah icon Banten-icon Pandeglang. Reaksi ini menandakan betapa masyarakat Banten begitu cinta dan bangga akan Badak Cula Satu yang hanya ada di Ujung Kulon. Akan tetapi rasa bangga dan sikap menolak wacana pemindahan saja tidak cukup untuk melindunginya dari kepunahan. Rasa bangga dan cinta tadi akan sangat bermanfaat bagi badak itu sendiri manakala ditunjukkan dengan adanya langkah konkret yang dilakukan.

Terlepas dari persoalan di atas, penulis justru ingin fokus pada konservasi Badak Sunda di Ujung Kulon itu sendiri. Apa yang sudah dan akan kita lakukan untuk melindunginya di habitat aslinya itu? Alasan adanya ancaman gempa tektonik yang dapat mengakibatkan tsunami atau anak gunung Krakatau meletus, siapa yang tahu akan bencana itu? Alasan banyaknya pohon langkap yang memunahkan rumput pakan badak, mengapa tidak ditebangi langkap itu? Apa yang sudah BTNUK & WWF lakukan mengantisipasi dominasi langkap di TNUK?

Disebutkan pula bahwa keberadaan banteng saat ini sudah over-population yang menguasai pakan badak, mengapa tidak si banteng saja yang kita pindahkan? Atau dalam gagasan nyeleneh melokalisirnya di suatu areal tertentu yang kemudian dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendongkrak dunia pariwisata melalui “Berburu Banteng Ujung Kulon” secara terbatas?.

Disadari atau tidak, yang terlupakan dan menjadi ancaman besar lainnya, hemat penulis adalah konflik yang selama ini terjadi antara masyarakat di sekitar (buffer zone) kawasan TNUK dengan aparat Polisi Hutan (Polhut) dari pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK). Ini justru yang menjadi ancaman utama yang harus segera dicarikan jalan penyelesaiannya.

Caranya yang penulis tawarkan adalah dengan melakukan resolusi konflik melalui pendekatan budaya, (bukan pendekatan kelembagaan atau scientific - yang orang awam justru tidak faham sama sekali, apalagi pendekatan represif). Melalui pendekatan ini tentu tidak bisa dilakukan hanya oleh salah satu pihak, BTNUK saja misalnya. Bagaimana konsep konservasi badak bisa dilaksanakan sebagaimana harapan, disinilah kesadaran seluruh stake holders untuk menggunakan pola kolaborasi. Stake holders dimaksud menurut Prof. Hadi Alikodra dari IPB adalah pemerintah pusat melalui otoritas yang diberikan kepada BTNUK, pemerintah daerah, masyarakat lokal yang langsung menngunakan sumber daya, masyarakat lokal yang memiliki kepentingan secara tidak langsung dengan sumber daya, individu atau group yang secara legal memiliki kegiatan komersial pemanfaatan sumber daya langsung/pengusaha, mereka yang datang untuk memanfaatkan sumber daya yang sering menyebabkan terjadinya kerusakan, penghasil limbah, suppliers, supporter perguruan tinggi, LSM, konservasionis serta konsumen yang menggunakan souvenir, tokoh masyarakat lokal.

Oleh karenanya dalam konteks ini, kita jangan bermimpi menjadi seorang Superman, lupakan Robinhood dan abaikan hasrat untuk menjadi pahlawan sendiri. Yang harus dilakukan untuk menyelamatkan badak cula satu adalah bentuk konsorsium; bekerja bersama-sama (tidak sekedar bersama-sama bekerja), siapa bisa melakukan apa dan siapa berperan sebagai apa. Toh meski tidak tercatat sebagai seorang syuhada/pahlawan di mata rakyat melalui publikasi media, Malaikat kan tidak tidur apalagi lupa mencatat amal baik kita?!. Wallahu’alam bisshawab.

Tidak ada komentar: