Rabu, 26 November 2008

Memaknai Seba Urang Baduy

“……………Pulo Jawa ieu aya aturana. Nyanghulu ka Jungkulan, nunjang ka Balambangan. Ari di Jungkulan ngarana Sangiang Sirah, di Balambangan, Sangiang Dampal. Ti Sangiang Sirah ka Sangiang Dampal, eta aya jantungna, ngarana Gunung Kendeng. Eta sakabeh gunung, sumber cai nu aya, kudu dilestarikeun. Sabab san kahirupan manusa jeung mahluk hirup sajabana kahareupnakeun.………….”

Hari ini, masyarakat adat Baduy, melakukan salah satu dari sekian banyak rangkaian upacara adat yang ada pada Urang Baduy. Dalam sistem penghitungan Urang Baduy, tahun ini adalah Tahun Alip. Upacara tersebut biasanya dipimpin oleh Jaro Tanggungan Dua Belas, yang saat ini masih dipegang oleh Ayah Saidi bersama Jaro Pamarentah tersebut merupakan delegasi yang terdiri dari tokoh adat dan warga Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Delegasi yang berasal dari Baduy Dalam (sering juga disebut Urang Tangtu, Urang Kajeroan, Urang Girang) yang mengikuti upacara ini biasa datang lebih dulu dan terpencar dengan rombongan dari Baduy Luar. Karena warga Baduy Dalam dilarang menggunakan kendaraan atau binatang. Biasanya mereka berangkat lebih dulu dengan senantiasa berjalan kaki tanpa alas kaki. Sedangkan delegasi dari Baduy Luar (yang juga akrab disebut Urang Panamping) diperbolehkan menggunakan sarana transportasi umum. Upacara adat itu disebut Seba.

Rute perjalanan Seba sudah sedemikian jelas, pertama seluruh delegasi mengunjungi kantor Bupati Lebak. Setelah itu sebagian kecil delegasi berkunjung ke kantor Bupati Pandeglang. Kemudian dilanjutkan ke kantor Bupati Serang oleh sebagian kecil delegasi dan puncaknya berakhir di kantor Gubernur Banten yang dihadiri oleh seluruh delegasi. Adapun yang diperbolehkan untuk menjadi peserta upacara Seba hanya kaum laki-laki, baik orang dewasa, pemuda maupun anak-anak.

Kata Seba dalam acara rutin yang dilaksanakan setiap tahun ini masih saja menimbulkan beragam penafsiran dan pemaknaan di banyak kalangan, baik dari sisi tata bahasa maupun filosofisnya.

Dalam pandangan yang stereotype, Seba dimaknai sebagai suatu aktifitas untuk persembahan hasil tanam kepada penguasa negara, atau sebuah simbol dari suatu ketundukan. Pandangan ini muncul akibat dari sejarah perjalanan panjang sebelum Republik Indonesia merdeka. Di mana pada zaman kolonial Belanda, diterapkan kewajiban kepada daerah-daerah jajahannya untuk mempersembahkan upeti. Sehingga apa yang dilakukan oleh Urang Baduy melalui acara Seba dianggapnya sebagai sikap dari ketaklukan atau ketundukan kepada penguasa (negara).

Menjalin Kasih

Dalam keseharian kita masih akrab dengan kata Seba, Nyeba, Paseban, atau yang sedikit mirip seperti Nyaba. Seba sendiri berarti bertemu atau berjumpa. Nyeba artinya berkunjung untuk melakukan pertemuan. Sedangkan kata Paseban beratri tempat pertemuan, tempat musyawarah. Di beberapa daerah pedesaan istilah paseban masih sering digunakan. Sementara dalam terminologi Islam, kata Seba memiliki makna silaturrahiem, muwajahah, suatu aktifitas horizontal yang wajib dilakukan oleh semua manusia.

Sementara dalam pandangan Urang Baduy sendiri, Seba merupakan bentuk konkret dari upaya untuk mempererat ikatan tali silaturaheim secara formal terhadap Bapak Gede. Dalam hal ini istilah Bapak Gede yang dimaksud adalah Bupati Lebak, Bupati Pandeglang, Bupati Serang, Gubernur Banten (sebelum menjadi provinsi tersendiri, Seba dilakukan kepada Residen Banten). Hal ini dilakukan bukan bermakna untuk menyampaikan upeti kepada penguasa, ataupun sebagai bentuk pengakuan dan ketundukan. Akan tetapi lebik kepada upaya untuk menyambung tali silaturahiem antara Urang Baduy dengan Pemerintah Daerah.

Adapun persoalan hasil panen, makanan yang mereka bawa, seperti gula aren, buah pisang dan hasil ladang lainnya, tak lebih dari sekedar tanda mata yang dalam bahasa mereka disebut pamuka lawang (pembuka pintu). Makna lain dari Seba adalah sebagai sikap yang sepatutnya antara anak kepada orang tua.

Upacara Seba Tahun merupakan bagian akhir dari rangkaian upacara adat. Seba juga bermakna sebagai tanda dari usainya tahapan musim tanam padi. Sebab di lingkungan adat Baduy terdapat banyak rangkaian upacara yang berhubungan dengan aktifitas pertanian. Di penghujung musim kemarau, mereka melakukan upacara adat yang dimulai dengan Narawas (berdoa untuk memulai musim tanam di huma/ladang). Dilanjutkan dengan Nebas/nuaran kakayon (menebangi pepohonan yang hendak dijadikan lahan menanam padi). Ngaduruk (membakar ranting dan ilalang yang sudah kering) yang kemudian memnersihkannya dari sisa-sisa ranting yang tidak sempat terbakar.

Tahapan berikutnya adalah Ngaseuk, menanam benih padi di lubang yang tersedia dengan menggunakan aseuk-tongkat runcing. Disambung dengan Ngored, menyiangi rerumputan di sela-sela tanaman padi pada waktu usia padi mencapai lima sampai enam minggu. Setelah padi berbuah dan menguning, dilakukan Dibuat/ngetem, yaitu memetik padi dengan menggunakan ani-ani. Diikuti dengan upacara Kawalu, syukuran atas hasil panen, yang terdiri dari tiga tahap, ada Kawalu Mitembeuy/awal, Kawalu Tengah dan Kawalu tutug/ahir, dalam kurun waktu tiga bulan berturut-turut. Pada rentang waktu tersebut, ke-tiga kampung Baduy Dalam tertutup untuk dikunjungi warga yang berasal dari luar Baduy. Selepas Kawalu, ada upacara Ngalaksa, yakni melakukan perhitungan jumlah warga, dengan cara yang sederhana, yakni setiap kepala keluarga menyerahkan ikatan tangkai padi sesuai dengan jumlah anggota keluarganya kepada Kokolot kampung setempat. Dengan demikian, perkembangan jumlah penduduk di desa Kanekes sangat akurat dan tidak terlalu membutuhkan energi yang terlalu banyak.

Setelah itu, barulah upacara Seba dilaksanakan. Adapun puncak dari rangkaian upacara adat itu adalah Ngaramaan, yakni membersikkan sasaka-sasaka atau keramat-keramat yang ada di wilayah kampung Cibeo. Kemudian berakhir di acara Muja, yakni mengunjungi Sasaka Domas atau Panembahan Arca Domas yang dilaksanakan dalam waktu dua hari pada jam-jam tertentu. Lokasinya berdekatan dengan kampung Cikeusik, tepatnya di hulu sungai Ciujung, yang hanya orang-orang tertentu saja boleh mengikutinya.

Pesan dari Kanekes

Dalam acara seba/silaturahiem, senantiasa dibarengi dengan saling sambut antara tuan rumah dengan Utusan dari Baduy. Di ajang Seba inilah konsep siling asah, siling asih, siling asuh diimplementasikan. Yang menarik, dari tahun ke tahun, amanat yang disampaikan Urang Baduy kepada para Kepala Daerah tersebut selalu sama. Setidaknya tidak pernah luput menyampaikan dua pesan. Kedua pesan dari Puun - pucuk pimpinan adat Baduy yang tidak pernah keluar dari kawasan Baduy - ini disampaikan melalui Jaro Tanggungan Dua Belas dan atau Jaro Pamarentah (kepala desa). Pertama, bagaimana pemerintah dan rakyat berupaya menciptakan hidup rukun dan damai, menyatu dengan alam. Bagaimana agar manusia bisa menciptakan hidup yang harmoni dengan lingkungan alam. Hal tersebut dibingkai dalam sebuah kalimat sederhana, gunung ulah dilebur, lebak ulah diruksak.

Dalam tradisi lisan Urang Baduy, dikatakan, “Pulo Jawa ieu aya aturanana. Nyanghulu ka Jungkulan, nunjang ka Balambangan. Ari di Jungkulan ngarana Sangiang Sirah, di Balambangan, Sangiang Dampal. Ti Sangiang Sirah ka Sangiang Dampal, eta aya jantungna, ngarana Gunung Kendeng. Eta sakabeh gunung, sumber cai nu aya, kudu dilestarikeun. Sabab san kahirupan manusa jeung mahluk hirup sajabana kahareupnakeun”. (Pulau Jawa ini ada aturannya, kepala berada di Ujung Kulon, kaki ada di Blambangan. Di Ujung Kulon namanya Sangiang Sirah, dan di Blambangan bernama Sangiang Dampal. Dari Sangiang Sirah ke Sangiang Dampal itu ada jantungnya, namanya Gunung Kendeng. Seluruh gunung yang ada itu, termasuk sumber airnya, harus kita jaga kelestariannya. Sebab hal itu untuk kehidupan manusia dan makhluk Tuhan lainnya di masa yang akan datang).

Kedua, pemerintah diminta untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan negara, sebagaimana mereka tunduk dan patuh kepada aturan adat, yakni dengan menegakkan hukum setegak-tegaknya dengan kejujuran dan kearifan, agar rasa keadilan dalam masyarakat dapat terwujud.

Dua pesan tersebut disampaikan dengan penuh kesungguhan, dengan harapan agar para pihak, khususnya pemerintah segera melakukan upaya pembenahan atas dua persoalan tersebut. Akankah pesan mulia tersebut hanya dianggap sebagai angin lalu pada acara Seba di tahun AlipWallahu’alam. ini?

Tidak ada komentar: