Selasa, 25 November 2008

MASYARAKAT KONSUMTIF

Sore hari minggu lalu, penulis sempatkan diri antarkan anak membeli buku Iqra, metode belajar membaca Al-Qur’an ke toko buku di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan kota industri, Cilegon. Tak seperti hari biasa di luar bulan Ramadhan, ribuan orang nampak berjubel dengan keragaman style dan orientasi masing-masing. Kesempatan itu penulis manfaatkan untuk mengamati dengan menyusuri hampir semua sudut swalayan, dari mulai musholla mungil yang dipadati warga saat beribadah shalat ashar sampai ke lantai paling atas. Disana nampak pula puluhan orang, tua-muda, pria dan perempuan sedang santai tanpa malu menikmati makanan dan minuman, seolah tak peduli bahwa di sekelilingnya ada banyak pula orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Dari pengamatan penulis, tak satupun dari warga yang sempat berpapasan itu tidak membeli sesuatu, semuanya belanja. Mulai dari yang membeli pakaian untuk lebaran, makanan, sampai dengan produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Atau bagi ABG (Anak Baru Gede) yang mungkin uang jajannya terbatas, cukup sekedar membeli accesories obralan untuk menambah gaya hidupnya. Dari kawasan Kota Cilegon, pengamatan dilanjutkan ke Kota Serang, suasana disana pun tidak kalah meriahnya. Ribuan manusia semburat berhamburan dan memadati hampir setiap pusat perbelanjaan.

Dalam renungan penulis, ternyata betapa kita ini adalah masyarakat yang sangat konsumtif. Pola hidup konsumtif ini seakan-akan sudah menjadi semacam budaya di masyarakat kita. Sebab ternyata di rumah penulispun banyak tersedia makanan yang sengaja disediakan isteri untuk berbuka puasa dan atau makan sahur, semua serba instant dan siap saji. Padahal waktu kecil dulu, Ibu di kampung - yang tak ada dalam peta, terbiasa menyediakan makanan dan minuman untuk berbuka puasa dan sahur dari hasil produksi sendiri. Dari mulai bahan baku yang dipakai seperti pisang dan singkong berasal dari kebun sendiri, perapian cukup dari serpihan kayu bakar, minyak gorengnya dibuat sendiri, bahkan minuman segarnya pun bernama lahang (terbuat dari air nira) hasil sadapan paman. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.

Priyonggo Suseno, ketua tim peneliti PPS-LP UII, pernah mensinyalir bahwa tingkat konsumsi masyarakat Yogyakarta sangat tinggi, yakni 1,09 kali lebih banyak dari rata-rata pendapatan total masyarakat, yang berarti bahwa anggaran belanja yang mereka keluarkan lebih besar dari penghasilannya. Sehingga hampir seluruh pendapatannya mereka habiskan untuk dikonsumsi.

Terkait dengan hasil penelitian PPS-LP UII, Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, meningkatnya pola hidup konsumtif cenderung mengubah perilaku sosial masyarakat. Konsumen muda yang terdiri dari generasi muda, bagi produsen adalah sasaran empuk, gurih, dan segar. Kaum muda seusia itu merupakan pasar yang makin flamboyan dan setiap saat bertambah besar.

Terlepas apakah hasil penelitian tadi ada korelasinya atau tidak dengan pola hidup masyarakat Banten yang juga cenderung konsumtif (karena di Banten belum ada penelitian ilmiah sejenis), namun yang paling mendasar adalah telah terjadi perubahan pola fikir dan pola sikap-perilaku, dimana masyarakat sering membalikkan logika, yakni lebih mengedepankan keinginan dari pada mengutamakan kebutuhan. Bahkan sering orang tidak sadar akan kebutuhannya dibandingkan dengan keinginannya. Seorang ibu muda yang berangkat ke pasar dengan tujuan memenuhi kebutuhan membeli ikan sering tergoda oleh belanjaan lain yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhannya, misalnya tertarik untuk membeli bunga atau barang lain yang harganya kadang jauh lebih mahal dari ikan yang ia butuhkan.

Mengapa kini mereka menjadi kelompok sasaran yang menarik bagi kapitalisme? Sebagai konsumen, mereka jelas berpotensi besar bagi dunia bisnis dan industri. Mereka adalah sasaran paling empuk dan mudah dipengaruhi. Konsumen muda belum bisa menentukan prioritas kebutuhannya sendiri. Umumnya dalam memutuskan sesuatu konsumen muda lebih mengandalkan emosi ketimbang rasionya. Mereka cenderung menelan mentah-mentah informasi yang diterima, asal menyenangkan. Hidup dalam pola dan arus konsumtivisme membuat orang merasa tidak puas jika produk atau barang yang diinginkannya belum dimiliki.

Akan tetapi yang lebih mengherankan lagi adalah kontradiktifnya semangat ibadah puasa dengan fakta perilaku sosial. Sebab semua pihak mahfum bahwa spirit puasa adalah menahan hawa nafsu. Bagaimana manusia memanage agar terjadi keseimbangan antara fisik dan psikisnya, lahir dan bathin. Bagaimana ia memiliki kepekaan sosial dengan berbagi dengan orang dzu’afa apalagi dengan mustadz’afin. Setidaknya dalam renungannya saat kondisi fisik yang lapar dan dahaga, betapa beratnya beban yang harus dipikul si dzu’afa.

Faktanya, menahan nafsu yang kita lakukan menjadi semu. Sebab pada saat berbuka puasa dan sahur, begitu banyak makanan yang terkadang tidak habis dimakan dan mubadzir. Konsekuensinya biaya hidup selama bulan Ramadhan justru menjadi lebih tinggi. Padahal mestinya bisa lebih irit, toh makan hanya dua kali, sedangkan di bulan lainnya rata-rata makan 3 kali per hari. Inilah salah satu indikator bahwa kita belum bisa mengendalikan hawa nafsu.

Atas fenomena sosial ini, seorang sosiolog DR. Imam B. Prasodjo mengemukakan pendapatnya (Suara Muhammadiyah edisi 19/TH.Ke-92) bahwa sesungguhnya Iedul Fitri tidak sekedar pendekatan kultural, supaya orang tidak menjadi konsumeristis dan tidak terjebak dalam konsumerisme. Dalam arti agar mereka tidak membeli barang secara berlebihan melebihi kapasitas dan kemampuan. Apalagi barang tersebut di luar kebutuhan utama.

Iedul fitri menurut DR Imam sesungguhnya bisa dijadikan sebagai ajang untuk membangun solidaritas sosial, karena salah satu misi puasa adalah membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat miskin. Karenanya perilaku konsumtif yang berlebihan itu menjadi kontraproduktif dengan tujuan puasa itu sendiri.

Nampaknya kita harus terus melakukan perenungan lagi. Wallahu’alam bishawab.

Tidak ada komentar: