Rabu, 26 November 2008

Menyambut Seba Gede, CICAKAL GIRANG (Komunitas Muslim di Baduy)

“Agama jeung kapercayaan Urang Baduy mah, Islam Sunda Wiwitan. Ngan di Cicakal Girang aya warga muslim, dina sajarah kahadiranana nyaeta dipenta ku lembaga adat ka Sultan Banten, anu tujuana supaya ngabantu ngurus pencatatan perkawinan warga Baduy atawa warga anu ngalanggar adat jeung ngurus mayit…….”

Hari ini, (21/04) dipastikan setidaknya 800 orang delegasi masyarakat adat (Baduy Dalam dan Baduy Luar) berduyun-duyun menuju pendopo Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang dan Pemprov Banten untuk melaksanakan rangkaian upacara adat yang disebut Seba, sebagai salah satu bentuk upaya menyambung tali silaturahmi dengan pemerintah daerah (Kabupaten & Provinsi Banten) yang senantiasa mereka pertahankan. Upacara seba tahun ini terkategorikan sebagai Seba Gede, sebab melibatkan banyak warganya.

Sebagaimana biasa, warga Baduy Dalam (sering disebut Urang Tangtu atau Urang Baduy Jero) yang berasal dari Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana melakukan perjalanan menuju Pemkab Lebak dan Pemprov Banten dengan berjalan kaki. Sementara warga Baduy Luar (Urang Panamping atau Urang Baduy Luar) menggunakan kendaraan roda empat.

Mereka membawa “oleh-oleh” berupa buah-buahan dari hasil panen di huma atau di ladang, seperti pisang, gula aren dan sebagainya. Bingkisan tersebut tak lebih dari sekedar tanda mata (pamuka lawang) antara anak dengan orang tua dan bukan bermakna sebagai simbol ketundukan atas penguasa. Sebab dalam prosesi upacara adat tersebut, terdapat dua misi utama yang secara eksplisit mereka sampaikan, yakni menyambung tali silaturahmi dan menyampaikan pesan Puun (pucuk pimpinan komunitas adat Baduy) untuk senantiasa menyatu dengan alam dengan cara menjaga kelestariannya.

Meski melibatkan banyak orang, kegiatan ini tak akan memperlihat kegadukan, hirup-pikuk. Mereka mampu memposisikan diri sebagai tamu yang baik dan berperilaku santun.

CICAKAL GIRANG

Terlepas dari itu, ada sesuatu hal menarik lainnya yang dimiliki komunitas adat Baduy, yakni Kampung Cicakal Girang. Bagi sebagian masyarakat yang sudah mengenal masyarakat Baduy di pegunungan Kendeng ini, mungkin masih asing dengan istilah Cicakal Girang. Dimana keseluruhan penduduknya merupakan warga muslim yang tak ada bedanya sama sekali dengan warga muslim lainnya. Lokasinya terletak di dalam kawasan Baduy. Sedangkan bagi mereka yang sekilas sudah mengenalnya juga masih ada yang berpandangan stereotipe - beranggapan bahwa warga muslim di Cicakal Girang adalah Islam baru. Padahal pada kenyataannya tak ada sesuatu pun yang baru dari ajaran Islam yang dilaksanakan warga Cicakal Girang.

Cicakal Girang yang terletak di ujung barat Desa Kanekes, berbatasan langsung dengan Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik. Saat ini sudah berkembang menjadi dua kampung baru (babakan) yang masing-masing kampung memiliki masjid/musholla. Bentuk dan bahan bangunan rumah warga Cicakal Girang jauh berbeda dengan komunitas adat Baduy. Di samping itu warga Cicakal Girang juga memiliki satu unit (dua lokal) madrasah ibtidaiyah yang terdiri dari 97 siswa. Dengan keterbatasan sarana & prasarana yang dimiliki, pengelola madrasah memanfaatkan masjid dan rumah warga untuk kegiatan belajar mengajar.

ASAL USUL

Berdasarkan tradisi lisan yang dikemukakan Jaro Pamarentah (Kades Kanekes) Dainah dan Ustadz Abdul Rosyid, tokoh Kampung Cicakal Girang, asal usul komunitas muslim disana berawal dari persoalan jauhnya jarak yang harus ditempuh warga Baduy (apalagi warga Baduy Dalam) yang akan melakukan pencatatan pernikahan yang dilakukan di Leuwidamar. Atas persoalan tersebut, lembaga adat mengajukan permohonan kepada Sultan Banten untuk menempatkan warga muslim di wilayah Desa Kanekes. Atas permohonan tersebut, pihak kesultanan Banten menitipkan satu keluarga muslim untuk membantu lembaga adat dalam menyelesaikan administrasi pernikahan warga Baduy serta membantu merawat jenazah warga yang meninggal dunia. Tidak jelas tepat waktu penempatan warga muslim tersebut. Adalah Ki Sahum orang pertama yang diberi mandat untuk membantu masyarakat Baduy. Namun utusan pihak kesultanan Banten tersebut juga belum terungkap berasal dari mana.

“Agama jeung kapercayaan Urang Baduy mah, Islam Sunda Wiwitan. Ngan di Cicakal Girang aya warga muslim, dina sajarah kahadiranana nyaeta dipenta ku lembaga adat ka Sultan Banten, anu tujuan na supaya ngabantu ngurus pencatatan perkawinan warga Baduy atawa warga anu ngalanggar adat jeung ngurus mayit…….” (Agama dan kepercayaan orang Baduy yaitu Islam Sunda Wiwitan. Namun di kampung Cicakal Girang terdapat warga muslim, yang dalam sejarah keberadaannya yaitu atas dasar permintaan lembaga adat kepada Sultan Banten dengan tujuan untuk membantu mengurus pencatatan pernihakan warga Baduy atau warga yang melanggar adat serta mengurus jenazah. - Jaro Dainah).

Istilah Cicakal Girang sendiri berasal dari kata “Cicukul”, yang bermakna “air sungai yang jadi”/bersemi. Cicakal Girang berbatasan langsung dengan kampung Baduy Luar lainnya yakni Cipaler yang berdekatan dengan kampung Cicakal Hilir. Atas perannya membantu lembaga adat, warga Cicakal Girang diberikan keleluasaan dalam nelaksanakan ajaran Islam. Disana terdapat beberapa unit bangunan sarana ibadah berupa masjid dan musholla yang pada awalnya terbuat dari gubuk sederhana. Kini hanya satu unit bangunan musholla yang masih sederhana berbilik bambu dan sudah lapuk dimakan usia, selebihnya sudah berdiri permanen dari bahan bangunan layaknya masjid/musholla di daerah lain.

BUKAN WARGA ADAT

Sejak tahun 1975, atas kebijakan lembaga adat Baduy, warga Cicakal Girang yang kini sudah berjumlah 324 jiwa (158 laki-laki, 166 perempuan) tersebut bebas membangun rumahnya terbuat dari bahan semen, pasir dan batu/bata, memiliki lantai keramik, genting dan sebagainya yang tidak boleh terlalu mewah. Disana juga terdapat tanaman cengkeh, kerbau peliharaan, sawah, kolam ikan (yang kesemuanya merupakan pantangan adat Baduy). Alat penerangan pun sudah memanfaatkan listrik bertenaga surya. Cara berpakaian dan pola perilaku mereka juga jauh berbeda dengan warga Baduy. Karenanya dalam amanat lembaga adat, warga Cicakal Girang dinyatakan sebagai warga yang bukan merupakan bagian dari komunitas adat Baduy, akan tetapi orang Islam yang ada di Desa Kanekes. Sehingga wajar bila tak ada kewajiban atas mereka untuk mengikuti upacara adat yang biasa dilakukan di Baduy.

Atas penggalan sejarah yang diriwayat itu tak satupun warga Cicakal Girang yang merasa dirinya sebagai Urang Baduy. Akan tetapi tak satupun juga di antara mereka yang tidak merasa bangga dan kagum terhadap Urang Baduy. Khususnya terhadap komitment Urang Baduy terhadap pelestarian lingkungan, kepatuhan terhadap aturan adat serta berpola perilaku sederhana dengan mengedepankan kejujuran dan keikhlasan, sebagai implementasi dari filosofi hidup lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (panjang tak oleh dipotong, pendek tak boleh disambung), yang bermakma mengedepankan kejujuran dan kesederhanaan.

Uniknya keberadaan warga muslim di Cicakal Girang, tak pernah satu kali pun warga Baduy yang menyatakan keluar dari lingkungan adat dan kemudian memeluk agama Islam yang diislamkan disana. Warga Baduy yang menyatakan masuk Islam biasanya diislamkan di Ciboleger Desa Bojongmenteng atau di Pal Opat.

Sepenggal goresan tangan ini untuk menggugah kerinduan akan local wisdom.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Wah terima kasih om ilmunya. Ternyata kampung saya masuk juga di catatan tangan om. " Pal opat ".