Rabu, 26 November 2008

TERJEBAK SIMBOL (Sebuah Autokritik)

“……………dimana tempat wudhu nya Mbak?” Tanya tamu saya dari Jakarta, “Bapak mau sholat? Ini bukan masjid Pak, ini gedung DPRD. Kalau masjid di belakang gedung ini” timpal seorang perempuan muda yang mungkin bekerja di lingkungan Sekretariat DPRD Kabupaten Pandeglang itu….

Konsumsi hanyalah penjelmaan jiwa humanistis manusia ekonomis, lebih mementingkan diri sendiri (selfish) untuk peningkatan kesejahteraan walaupun terkadang perilaku tersebut telah menyerupai kerakusan binatang. Perilaku memiliki benda telah dipengaruhi oleh dogma ekonomi, tidaklah muncul dengan sendirinya walupun manusia memiliki akal dan pikiran untuk melakukan pilihan berdasarkan empathy dirinya, namun proses empathy tersebut lenyap adakalanya stigma konsumsi diramu kedalam simbol-simbol yang mempunyai makna intrinsik dalam masyarakat. Sehingga manifestasi simbol-simbol tersebut terpatri dalam sikap, pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat modern “serba” berlebihan.

Gaya hidup modern nampak selaras dengan lemahnya penegakan hukum, mereduksi pola pembangunan untuk memproduksi ”maling simbol” agar memperoleh penghargaan dan pengakuan diri dari masyarakat. Eksploitasi barang-barang milik negara dan salah kaprah alokasi barang bersubsidi, terus dikemas dalam kebijakan publik. Serangkaian pemanfaatan energi secara bijaksana dianggap ”barang basi” diperdebatkan. Perilaku mubazir untuk menghabiskan energi selama ini sebenarnya telah dipertontonkan oleh institusi yang berkedok Negara dan Swastanisasi. Demikian kata Fince Herry, (30/05).

Paradigma simbol ini telah mempengaruhi setiap cara berpikir dan berperilaku manusia di Banten. Proses pembenaran perilaku paradigma simbol (kebendaan) ditularkan melalui sajian menarik di beberapa media, untuk segera merangsang pikiran-pikiran masyarakat melalui isi pesan yang berlebihan. Implikasinya adalah semakin mahal benda yang dikonsumsi maka semakin tinggi strata mereka di mata masyarakat. Perilaku sederhana ini, tanpa disadari telah mengiring kita untuk menyepakati perilaku boros dan mubazir dalam kehidupan sehari-hari. Karena konsumsi suatu barang bukan lagi menjadi kebutuhan bersama namun mahalnya harga telah menjadi nilai baru dianggap universal. Paradigma simbol ini telah menjerumuskan setiap perilaku manusia untuk bertindak di luar batas jabatannya, kekuasaannya.

Pembangunan ”Top-down” selama ini memprioritas fisik di atas bangunan sosial, yang artinya keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari kasat mata. Keberhasilan suatu pemerintah pusat dan daerah ditentukan oleh ”banyaknya bangunan” semasa menjabat dalam suatu periode jabatan. Sehingga dalam waktu relatif singkat ”paradigma simbol” menjadi prinsip ”asal bapak senang” dan menjadi momok menakutkan apabila dalam suatu jabatan tidak mampu menyediakan data yang mengembirakan. Warisan berpikir mendirikan bangunan fisik merupakan suatu ukuran keberhasilan, telah tertancap dalam ideologi simbol-simbol para politisi petinggi pemerintahan.

Paradigma simbol dapat dengan mudah ditemukan dalam kerangka pembangunan di daerah. Hal ini berarti perekonomian kita masih didominasi oleh tingkat pengeluaran yang dilakukan oleh setiap rumah tangga. Hal ini sejalan dengan peningkatan konsumsi rumah tangga akan memacu untuk setiap badan usaha untuk meningkatkan jumlah produksi yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Karena konsumsi sama dengan gengsi, maka semakin banyak simbol-simbol kebendaan dikonsumsi oleh masyarakat, maka tumbuhlah perekonomian. Sungguh hal yang sangat naif, paradigma simbol dijadikan asumsi sebagai keberhasilan pembangunan.

Sebagai contoh konkrit, simaklah penggalan percakapan berikut inidimana tempat wudhu nya Mbak?” Tanya tamu penulis dari Jakarta, “Bapak mau sholat? Ini bukan masjid Pak, ini gedung DPRD. Kalau masjid terletak di belakang gedung ini” timpal seorang perempuan muda yang mungkin bertugas di lingkungan Sekretariat DPRD Kabupaten Pandeglang.” “……………

Penggalan percakapan di atas adalah nyata, waktu tamu saya - salah seorang kandidat doktor dari UI – Jakarta yang sedang menyusun disertasinya tentang masyarakat Baduy berkunjung ke Pandeglang, ketika ia hendak sholat dzuhur, bukannya datang ke masjid agung Arrohman, malah masuk ke gedung DPRD Pandeglang.

Rupanya teman yang satu ini terkecoh oleh bentuk bangunan yang mirip dengan kubah masjid. Bahkan ia sempat berfikir betapa banyak masjid di sekitar alun-alun Pandeglang. Betapa tidak? Pasar Badak saja reliefnya mirip dengan simbol-simbol masjid. Hampir semua gedung serba berkubah. Barangkali ini merupakan bentuk upaya untuk mengimbangi julukan Pandeglang sebagai ‘kota sejuta santri seribu ulama’ (entah atas dasar apa jumlahnya menjadi sejuta dan seribu, padahal jumlah penduduk Pandeglang saat ini tercatat sekitar satu juta jiwa saja.

Dalam posisi seperti ini nampaknya kita sudah terjebak oleh simbol-simbol, yang jauh dari substansi. Dalam tataran tertentu, simbol tentu saja penting, akan tetapi bukan yang terpenting. Sebab yang lebih utama adalah substansi. Sebagaimana yang terjadi pada dunia pendidikan kita, sejumlah peraturan daerah, wajib diniyah misalnya, adalah kebijakan yang menurut hemat penulis adalah kontra-logika. Sebab pendidikan adalah ‘hak’ warga masyarakat. Akan tetapi dengan peraturan tersebut pemerintah justru menjadikan itu sebagai sebuah ‘kewajiban’ masyarakat.

Sejumlah contoh lain yang sangat simbolik adalah penggunaan jubah, ikat kepala/udeng, sorban yang menjadi simbol kyai atau ulama, akan tetapi sedikit saja di antaranya yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan praktis, yang secara rutin berkeliling ke sejumlah dinas, instansi atau kepala daerah dengan membawa map berisi proposal yang entah untuk kepentingan siapa. Hal ini tentu sulit untuk diteladani. Jika ini menjadi sebuah kebiasaan, tentu akan sangat membahayakan mental masyarakat. Karena itu wajar pula apabila saat ini kita sudah kehilangan jatidiri dan sulit mencari suri-tauladan.

Krisis keteladanan tadi diikuti pula dengan pola pembangunan baru. Lihat saja seluruh bangunan gedung sekolah dasar (tentu tidak berlaku bagi sekolah yang belum direhabilitasi) di Pandeglang, cat yang digunakan berwarna hijau, keramik yang dipasang juga berwarna hijau. Semua serba hijau. Mengapa demikian? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Tidak ada komentar: