Selasa, 25 November 2008

KEUNGGULAN TRADISI LISAN

…….Ieu carita aya benerna aya salahna ; benerna aya riwayatna, salahna euweuh kitabna, euweuh bukuna. Ngan lamun hayang ngoreh, ulah ditanya ka Puun, ulah datang ka Baduy. Tamatna di sajarah alam. Saksina poe tujuh, bulan dua belas, tahun dalapan…… Ari sajarah alam eta aya di Pangeran Raja Geleher…

Istilah tradisi lisan, tidak harus memiliki beban untuk memberi semacam kebenaran sejarah seperti yang dituturkan oleh para pelakunya atau oleh pihak-pihak yang merasa mempunyai pengalaman sejarah yang bersangkutan seperti beban pada “sejarah lisan”. Sebab penutur dapat berkilah dengan mengatakan, “carita ieu meunang ti leluhur kami, hampura bisi aya kasalahan, sabab kami mah ngan saukur ngucapkeun deui ” (kisah ini didapatkan dari leluhur saya, mohon maaf bila terdapat kesalahan karena saya hanya sekedar menuturkan kembali). Proses pewarisan yang telah berjalan secara turun-temurun dan adanya interaksi langsung antara penutur dan masyarakatnya / pendengarnya merupakan dua hal pokok dalam proses penciptaan tradisi lisan.

Istilah tradisi lisan dicetuskan pertama kali oleh Havelock dalam Preface to Plato pada tahun 1963. “kelisanan” tidak dapat dipisahkan dari konsep mengenai keberaksaraan, tetapi di sisi lain justru harus dibedakan dengan konsep ini. Ketika berbicara mengenai kelisanan maka kita bicara mengenai sesuatu yang tidak tertulis, tetapi sekaligus juga bicara tentang sesuatu yang tertulis yang diujarkan/diucapkan. Sweeney menegaskan bahwa pengertian kelisanan dapat sedikit dipuaskan bila dibicarakan dalam konteks interaksinya dengan tradisi tulisan (Sweeney, 1998: 2—5).

Dalam kaitan ini perlu terlebih dahulu diutarakan kekaburan pemakaian istilah “oral” dan “orality”. Istilah yang pertama berkaitan dengan suara. Konsep oral dalam arti ini menjadi sangat luas, meliputi segala sesuatu yang diujarkan, seperti uraian ceramah di bangku kuliuah misalnya. Dengan kata lain, istilah oral disini tidak berkaitan dengan beraksara atau tidak beraksaranya penutur yang bersangkutan. Istilah orality diartikan sebagai “satu sistem wacana yang tidak tersentuh oleh huruf. Akan tetapi, kosep ini pada waktunya akan juga mempengaruhi konotasi oral, sehingga istilah oral mengandung dua makna yang berbeda. Implikasi kata lisan dalam pasangan (1) lisan – tertulis dan dalam pasangan (2) lisan - beraksara tentu sangat berbeda. Sweeney mengusulkan istilah “oracy” (orasi) untuk mencakup pengertian lisan pada pasangan pertama dan istilah”orality” (kelisanan) untuk pasangan kedua. Konsep kelisanan yang dipakai di sini adalah dalam konteks sistem pengolahan bahan yang tidak mengandalkan huruf. Tradisi lisan dalam konteks ini diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara” atau “sistem wacana yang bukan aksara”.

Dengan pembatasan seperti itu, pembicaraan kelisanan ini lebih mencakup tradisi lisan dan tidak mengkhususkan diri pada sejarah lisan mengingat di luar jangkauan kemampuan penulis. Simaklah penggalan lisan (alm) Jaro Pulung-salah seorang tokoh adat kharismatik Baduy, dalam hal sejarah asal usul mereka tahun 1996 ”…….Ieu carita aya benerna aya salahna ; benerna aya riwayatna, salahna euweuh kitabna, euweuh bukuna. Ngan lamun hayang ngoreh, ulah ditanya ka Puun, ulah datang ka Baduy. Tamatna di sajarah alam. Saksina, poe tujuh, bulan dua belas, tahun dalapan……” (cerita ini ada benarnya ada salahnya ; benarnya ada riwayatnya, salahnya tidak ada kitab atau bukunya. Akan tetapi jika penasaran, jangan ditanya kepada Puun - pucuk pimpinan komunitas adat Baduy, jangan datang ke Baduy. Ujungnya ada di sejarah alam. Saksinya, hari tujuh, bulan dua belas dan tahun delapan/sewindu). Bukti bahwa begitu terjaganya cerita tersebut terlihat selang sepuluh tahun berikutnya (2006), ketika penulis bacakan kembali transkrip ungkapan tersebut di hadapan para tokoh adat lainnya ; semuanya menganggukkan kepala, sebagai meng-iya-kan ’kebenarannya’.

Karenanya keunggulan kelisanan tersebut adalah dapat tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja “living memories”, tetapi juga “living traditions” yang dapat melintasi batas waktu melalui penuturan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lintas waktu dan lintas generasi ini menandakan bahwa ingatan mampu merekam berbagai ekspresi kelisanan mengenai pergulatan masyarakatnya. Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar misalnya, telah memperlihatkannya. Mereka tidak perlu flash disk, CD writer atau semacamnya untuk pelajaran generasi berikutnya tanpa resiko diserang visur.

Berbagai ekspresi masyarakat yang dinyatakan dalam tradisi lisan memang tidak hanya berisi cerita dongeng, mitologi, atau legenda seperti yang umumnya diartikan, tetapi juga mengenai sistem kognitif masyarakat, sumber identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan dan peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan, kreativitas, asal-usul masyarakat, dan kearifan lokal mengenai ekologi dan lingkungannya. Pengungkapan kelisanan tersebut disampaikan terutama dengan mengandalkan faktor ingatan. Penutur atau tukang cerita memang mengingat bukan menghafalkan apa yang akan disampaikannya (Lord, 1976; Sweeney, 1980 dan 1987; Ong, 1982).

Keunggulan lain - khususnya dalam system kognitif masyarakat Baduy adalah bahwa dengan hanya mengandalkan tradisi lisan senantiasa dibarengi dengan suri tauladan yang kerap kali membuat kita yang sudah terbiasa dengan tradisi tulisan terperangah. Dalam mendidik anak-anaknya, bahasa yang diungkapkan adalah “ceng, kieu cara na ngaseuk mah…. Ceng, ulah kadinya pamali, urang kudu liwat kadieu yeuh….” (Nak, cara bertanam di ladang seperti ini. Nak, jangan kesana tabu, kita harus lewat jalur yang ini, dan sebagainga). Semuanya mereka didik dengan keteladanan.

Sedangkan kita sering mendidik anak-anak hanya sekedar mentransformasikan ilmu pengetahuan yang teoritis, yang tidak diikuti dengan tauladan. Misalnya, menyuruh anaknya sholat di masjid, sedangkan ia shalat di rumah. Atau mewajibkan anaknya tidur tidak lebih dari jam 22.00, sementara sang ayah begadang sampai pagi, dan sebagainya. Jadi wajar saja jika ada seloroh orang Baduy yang berujar, ”urang luar etah memang maju, loba aturan nu dijieun, ngan hanjakal na sok teu ngatur. Nyieun aturana ngan saukur jang dilanggar ” (orang luar itu memang maju, banyak aturan yang dibuat – tertulis, tapi sayangnya sering tidak beraturan. Membuat peraturannya untuk sekedar dilanggar).

Meskipun ingatan sangat berperan, selalu dapat dijumpai perubahan-perubahan dalam tradisi lisan di samping bentuk-bentuknya yang tetap (Rubin, 1995). Yang selalu tetap sebetulnya adalah formula. Sumber penuturan memang merupakan pengalaman hidupnya, tetapi ada banyak hal lain yang turut berperan dalam proses penciptaan, seperti faktor rangsangan dari luar dalam bentuk reaksi dan tanggapan masyarakat sekitar, riwayat hidup, imaginasi, dan reaksi-reaksi pribadi si penutur terhadap kehidupannya.

Tidak ada komentar: