Rabu, 26 November 2008

SABA BUDAYA KANEKES

“Sedeng nagara bahan dibangun, bahan dirobah, bahan maju, ngan wiwitan mah kudu diteguhkeun, kudu dipatuhken. Nyaeta ngabaratapakeun, ngabaratanghikeun titipan ti Adam Tunggal….”

Atas asas kedaulatan, setiap masyarakar adat termasuk Tatar Kanekes (yang kemudian lebih popular dengan sebutan Baduy) dimungkinkan untuk membuat ketetapan Majelis Adat. Filosofi azas kedaulatan itu yakni, dimana ada wilayah - ada manusia, disitu pasti ada aturan yang mengikat. Alhasil, Minggu, 15 Juli 2007, Dainah, Jaro Pamarentah Desa Kanekes menandatangani Perdes Nomor 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy) disaksikan Ayah Mursid, dan sejumlah tokoh adat Baduy Dalam lainnya yang kharismatik.

Upaya para tokoh adat Baduy tersebut tentu tidaklah berlebihan. Sebab selama ini mereka sangat keberatan dengan istilah obyek wisata yang ditujukan kepadanya. Kesan yang muncul dari istilah ‘wisata’ adalah hiburan, tempat rekreasi yang berkonotasi masyarakat Baduy sebagai sebuah tontonan. Hal ini tentu tidaklah adil.

Lain halnya jika istilah ‘saba budaya’ yang digunakan. Dua kata tersebut mengandung makna yang sangat mendalam. Di samping bermakna sebagai suatu ajang untuk menjalin tali persaudaraan, menempatkan mereka sebagai subyek, sekaligus juga memberikan ruang kepada kedua pihak (pengunjung dan masyarakat Baduy) untuk saling menghormati, saling menghargai bahkan saling melindungi atas nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat setempat.

Hal prinsipil lain yang melatar belakangi lahirnya perdes tersebut adalah dampak yang ditimbulkan dari intensitas komunikasi dan interaksi yang terjadi antara pengunjung dengan masyarakat setempat, tidak jarang melahirkan persoalan-persoalan baru. Diantaranya pelanggaran adat yang dilakukan oleh pengunjung, baik yang tidak disengaja maupun pura-pura tidak tahu. Misalnya mengambil gambar/merekam di kawasan Urang Tangtu (masyarakat Baduy Dalam; Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana), masuk tidak melalui pintu utama di Kaduketug, dan sebagainya yang sangat merisaukan para tohoh adat.

“….Sedeng nagara bahan dibangun, bahan dirobah, bahan maju, ngan wiwitan mah kudu diteguhkeun, kudu dipatuhken. Nyaeta ngabaratapakeun, ngabaratanghikeun titipan ti Adam Tunggal….” (sedangkan Negara akan dibangun, akan dirubah, akan maju, akan tetapi ‘Wiwitan’/aturan awal harus dipertahankan. Yaitu menghayati dan mengamalkan titipan dari Nabi Adam….). Potongan kalimat di atas terungkap dari mulut Jaro Nasinah (Jaro Tangtu di Kampung Cikeusik) sekitar tiga bulan yang lalu. Dengan pertimbangan itu, pata pemangku adat melakukan musyawarah dan meminta Jaro Pamarentah untuk segera membuat suatu peraturan yang diharapkan mampu mengeliminir berbagai pelanggaran adat yang dilakukan oleh pengunjung.

Dengan lahirnya Perdes Saba Budaya, kini tak ada lagi alasan bagi pengunjung untuk berkata tidak tahu ketika ia melakukan pelanggaran adat. Sebab semua aspek yang berhubungan dengan tata tertib bagi pengunjung, sudah lengkap tertuang.

Nyapuan

Pelanggaran atas pikukuh adat setempat sebenarnya merupakan beban besar bagi para tokoh adat. Sebab atas perbuatan tak terpuji tersebut mereka harus melakukan upacara yang disebut dengan Nyapuan. Dalam upacara Nyapuan mereka harus menyiapkan sejumlah persyaratan yang dikenal dengan istilah “keris sapucuk, boeh sabeulah, lembareun sabokor, duit sareal, keur upacara adat, sangkan ulah beban kana aturan adat, ngabersihan sacara batin.” (sebilah keris, sehelai kain kafan, seperangkat bahan untuk nyirih/makan sekapur sirih, uang se-real, untuk upacara adat, agar tidak menjadi beban adat, membersihkan kototan secara batiniah). Tentu perlengkapan tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar.

Upacara Nyapuan setidak-tidaknya dilaksanakan setiap triwulan. Baik terdapat pelanggaran yang nampak secara lahiriah, maupun secara batiniah. Mereka meyakini bahwa jika tidak dilakukan permohonan ampunan atas pelanggaran pikukuh adat baik yang lahiriah maupun yang batin, baik yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun warga luar yang berkunjung, akan mendatangkan kemurkaan alam, kemurkaan Tuhan. Diawali dengan ‘ragrag lisan/pasrahnya’ Jaro Pamarentah yang merepresentasikan pihak yang melanggar atas kesalahan yang dilakukan kepada Baris Kolot di Panamping yang kemudian disampaikan kepada Jaro Tangtu dan Jaro Parawali yang disaksikan sejumlah tokoh adat lainnya dalam suasana yang khidmat.

Sejarah Baru

Keputusan Tangtu Tilu Jaro Tujuh yang dioperasionalisasikan oleh Jaro Pamarentah tersebut meliputi waktu kunjungan, tujuan, alur, pintu masuk, bentuk kunjungan, rute perjalanan, areal larangan, perbekalan dan perlengkapan yang tidak diperkenankan, retribusi, perangkat pelaksana sampai dengan sanksinya.

Perdes ini tentu merupakan lembaran sejarah baru dalam kehidupan komunitas adat Tatar Kanekes. Sebab selama ini mereka terbiasa dengan tradisi lisan yang melekat secara turun-temurun dan mampu mereka jaga secara otonom. Akan tetapi hanya mengikat bagi keseluruhan masyarakat adat saja. Semangat untuk melahirkan peraturan secara tertulis dan akan mengikat bagi para pengunjung ini mereka tunjukkan saat meminta bantuan Banten Heritage untuk memfasilitas peyusunan draft Raperdes. Bab demi bab, pasal demi pasal sampai ayat demi ayat begitu ketat dipelajari pemangku adat untuk menghindari kesalahan dan benturan dengan aturan adat.

Pembahasan ini sungguh konsisten dengan prinsip hidup yang mereka pegang teguh selama ini, yakni “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” yang secara harfiah bermakna, jika panjang maka tak boleh dipotong, jika pendek juga tak boleh disambung atau ditambahkan. Filosofi hidup ini tentu saja memiliki makna yang juga sangat mendasar, yakni bagaimana dalam menjalankan hidup dan kehidupan dituntut untuk senantiasa mengedepankan kejujuran, kesederhanaan-apa adanya dan tidak mudah terpengaruh oleh unsur budaya luar (yang negatif).

Dari prinsip hidup itu pula komunitas adat Tatar Kanekes mampu membendung berbagai pengaruh negatif yang muncul dari luar. Local wisdom (nilai-nilai kearifan lokal) senantiasa mereka jaga secara mandiri. Semoga ada yang dapat kita petik.

Tidak ada komentar: