Rabu, 26 November 2008

MENANAM MELINJO MEMBUAT EMPING,

Warga sekitar Menes - Pandeglang sering menyebut buah tangkil atau sake untuk menunjuk melinjo yang banyak terdapat di kebun petani setempat. Sebagaimana jenis tanaman keras lainnya, buah melinjo juga mengenal musiman, rata-rata tiga kali musim tiap tahun. Konon Melinjo (Gnetum gnemon L.) adalah suatu spesies tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropik dan Pasifik Barat. Melinjo dikenal pula dengan nama belinjo, mlinjo (bahasa Jawa), tangkil (bahasa Sunda) atau bago (bahasa Melayu dan bahasa Tagalog). Melinjo banyak ditanam di pekarangan sebagai peneduh atau pembatas pekarangan dan terutama dimanfaatkan "buah" dan daunnya. (sumber : Wikipedia). Tanaman ini memiliki nilai ekonomi tersendiri bagi masyarakat.

Melinjo merupakan tumbuhan tahunan berbentuk pohon yang berumah dua (dioecious). Batangnya kokoh dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Daunnya tunggal berbentuk oval dengan ujung tumpul. Melinjo tidak menghasilkan bunga dan buah sejati karena bukan termasuk tumbuhan berbunga. Yang dianggap sebagai buah sebenarnya adalah biji yang terbungkus oleh selapis aril yang berdaging.

Disamping mudah menanam dan pemeliharaannya, pohon melinjo juga memberikan banyak manfaat, dari mulai daun dan buahnya yang masih hijau (ambrang) yang biasa dimanfaatkan untuk membuat sayur asam, kulit buahnya yang juga dijadikan sayur, rantingnya digunakan untuk bahan bakar, pohonnya yang dapat digunakan untuk kebutuhan papan, hingga buahnya yang sudah matang berwarna merah untuk bahan baku pembuatan emping atau keceprek yang rasanya sangat gurih dan renyah.

Di kampung Kuluwut desa Harapankarya misalnya, sebagian kaum perempuannya terbiasa menjadi pengrajin emping. Sebut saja Ny.Dasiah (50) seorang ibu rumah tangga yang memiliki 8 putra dan 8 cucu adalah salah seorang dari sekian banyak perempuan yang sudah belasan tahun kesehariannya menjadi pengrajin emping. Di saat memiliki modal kecil-kecilan, ia produksi sekaligus jual sendiri hasilnya. Namun manakala ia tidak memiliki modal untuk membeli bahan baku, Ny. Dasiah hanya menjadi buruh pembuat emping bagi para pemilik modal yang lebih besar (cengkaw). Dalam sehari rata-rata ia bisa memproduksi antara 5kg s.d 6kg biji melinjo menjadi emping. Dari hasil pekerjaannya ia mendapatkan upah Rp.1.700,-/kg.

Aktifitas memproduksi emping biasa ia mulai jam 05.00 wib subuh sampai jam 13.00 wib. Pembuatannya dilakukan di emperan belakang rumahnya. Peralatannya sangat sederhana, terdiri dari lempengan batu atau kayu berdiameter +30CM, batu pemukul/antan (palu batu), alat untuk menjemur (nyiru atau lijen), tungku, katel (panyangrayan), sosok serta kayu bakar dan pasir. Sedangkan waktu yang tersisa ia pakai untuk mengurus keluarga serta mencari kayu bakar untuk keperluan bahan bakar di dapurnya maupun untuk memproduksi emping. Bisa dibayangkan, dalam sehari ia hanya mampu mendapatkan upah Rp.10.000,- untuk membantu menutupi kebutuhan hidup keluarganya yang jumlahnya besar itu. Sedangkan suaminya Marto (52) berprofesi sebagai petani yang penghasilannya juga tidak seberapa.

”Lumayan bae lah, lamun teu kieu, kumaha abdi nutupan kabutuhan kaluarga Pak? Ja salaki ngan saukur tani. Komo waktu ayeuna mah, usim halodo, sawah geh garing jeung teu bisa diolah. Alhamdulillah kanggo emam anak bae mah dicukup-cukupkeun” (Lumayan saja, kalau tidak begini, bagaimana saya menutupi kebutuhan keluarga Pak? Sedangkan suami hanya seorang petani. Apalagi saat ini, musim kemarau, sawah jadi kering dan tidak bisa digarap. Alhamdulillah untuk sekedar makan anak, ducukup-cukupkan) papar Ny. Dasiah lirih, saat ditemui disela-sela ayunan tangannya menumbuk satu per satu biji melinjo.

Menurut Ny. Dasiah, bahan baku biji melinjo biasa dibeli rata-rata Rp.6000,-/kg. Sedangkan harga jual emping Rp.17.000 hingga 18.000/kg. Dari bahan baku 1kg bisa menghasilkan 7-8 ons emping kering. ”Tergantung tangkilna, upami kulitna beureum, hasilna bisa nyampe 8 ons/kg, tapi lamun atah kenek mah – kulitna koneng, hasilna rata-rata 7ons/kg. Hasilna geh rada goreng, kulumudan jeung genyeh.” (tergantung melinjonya, kalau warna kulitnya merah, hasilnya bisa mencapai 8 0ns/kg, tetapi kalau masih mentah – warna kulitnya kuning, hasilnya rata-rata 7 ons/kg. Hasilnya juga kurang bagus, berkulit ari / kulit bagian dalam biji melinjo menempel dan lembek).

Berbeda dengan Ny.Dasiah di Kuluwut, Ny.Eti, perempuan kampung Cilanggawe desa Karyautama, yang kesehariannya bersama keluarga menjadi pengusaha emping dan keceprek melinjo. Disamping memproduksi sendiri, ia juga menampung emping dan keceprek dari buruh atau pengrajin emping di sekitar kampungnya. Peluang bisnis ini ia manfaatkan dengan baik. Mulai dari membuat kemasan yang menarik konsumen, ketebalan emping, aneka aroma dan rasa keceprek, hingga senantiasa berupaya menjaga kualitas produknya. Alhasil, emping dan keceprek yang ia kelola sudah mampu menembus pasar ke luar daerah Banten dan luar Jawa.

Bahan baku melinjo di daerah kita (Pandeglang) kualitasnya sangat bagus, kadar karangnya relatif rendah, sehingga rasanya sangat gurih dan renyah. Sehingga mampu bersaing dengan emping atau keceprek produksi daerah lain. Sehingga harga jualnya pun bisa mencapai Rp.25.000/kg” ungkap Ny. Eti yang mampu menjual emping dan kecepreknya hingga 5 kwintal setiap bulannya.

Ny. Eti menambahkan, sebenarnya peluang pasar emping dan keceprek melinjo asal Menes ini cukup besar, bahkan bisa menembus pasar luar negeri. Namun persoalannya sangat klasik, yakni keterbatasan modal usaha dan teknologi tepat guna yang dapat menunjang produksinya. ”Kami tentu sangat berharap pemerintah mau mengulurkan tangannya membantu mengatasi kendala yang dihadapi para pengrajin emping ini” pungkasnya.

Sedangkan H.Kusen, seorang bandar besar emping warga kampung Pakojan desa Muruy - Menes mengambil peluang bisnis dengan lebih memfokuskan pada penampung dan penjual biji melinjo, sedangkan untuk emping porsinya relatif kecil. Hampir setiap hari ia mengirim 1 sampai 2 truk biji melinjo ke daerah Jawa Tengah. Menurutnya, jika harus memproduksi emping atau keceprek, prosesnya cukup lama. ”Sengaja saya lebih fokus untuk menampung dan menjual biji melinjonya saja. Sebab sangat praktis, kita tidak memikirkan resiko musim hujan untuk menjemur emping atau keterlambatan dalam memproduksi. Sedangkan kita belum mampu memiliki teknologi canggih yang efektif efisien untuk memproduksi emping berkualitas tinggi” kata H.Kusen yang sudah puluhan tahun berprofesi sebagai penjual biji melinjo. (Ayah Haqie)

2 komentar:

M Sidik mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
M Sidik mengatakan...

halo bang pakabar