Rabu, 26 November 2008

“Sipil Melawan Korupsi”

”Ghandi yang dicari yang ada komedi

Revolusi dinanti yang datang Azhari

Lembaga berdiri berselimut korupsi

Wibawa menjadi alat melindungi diri

Pendidikan adalah anak tiri yang kesepian

Agama sebagai topeng yang menjijikkan

Kemiskinan merajalela yang kaya makin rakus saja

Hukum dan kesehatan diperjual belikan

Kesaksian tergusur oleh kepentingan ngawur

Pemerintah keasikan berpolitik

Partai politik sibuk menuhankan uang

Ada rakyat yang lapar, makan daun dan arang........”

(Iwan Fals dalam album 50:50).

Konvensi PBB dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi (United Nation Convention Against Corruption – UNCAC) yang diratifikasi oleh 104 negara serta 36 negara penandatangan konvensi kembali didiskusikan di Nusa Dua – Bali, 28 Januari hingga 1 Februari 2008 dan mendapat perhatian dari setidaknya 140 negara. Konferensi ini merupakan kegiatan kedua setelah konferensi serupa yang dilaksanakan di Jordania 10 s.d 14 Desember 2006. Agenda kegiatan yang menyita perhatian dari berbagai belahan dunia ini setidaknya menindaklanjuti empat persoalan, yakni mendiskusikan mekanisme dan mereview kembali konvensi dan implementasinya di masing-masing negara peserta; mendiskusikan inisiatif recovery aset atau pelacakan asset yang dikorupsi baik di dalam maupun luar negeri; bantuan teknis/asistensi kebutuhan negara-negara dalam pengambilalihan asset yang dikorupsi; dan issu korupsi pelayan publik di lembaga-lembaga internasional.

Bagaimanapun, konferensi ini merupakan pesan moral sekaligus support bagi pemerintah Indonesia khususnya sebagai tuan rumah untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam hal ini pemerintah diharapkan memiliki inisiatif untuk menyelamatkan asset negara dari para koruptor. Tentu saja dalam hal ini pemerintah Indonesia mendapat support yang luar biasa dari institusi dunia dan negara-negara yang turut menandatangani konvensi ini.

Namun demikian agenda konferensi pemberantasan korupsi ini nampaknya masih menjadi agenda elit di Indonesia. Sedangkan komponen lain (civil society & private sector) belum mendapatka tempat yang proporsional. Oleh karenanya perhatian yang diberikan oleh masyarakat sipil (civil society) dan LSM (non government organization) menjadi suatu kebutuhan. Sehingga 24 s.d 26 Januri yang lalu, Partnership, Indonesia Corruption Watch - ICW dan Transparency International Indonesia – TII, mengambil inisiatif melakukan Konferensi Masyarakat Sipil Antikorupsi di Sanur Paradise Plaza Hotel menyongsong pertemuan UNCAC tersebut.

Acara yang dihadiri oleh 200 peserta ini terdiri dari berbagai kalangan masyarakat sipil, mulai dari akademisi, aktivis LSM, budayawan, pengamat dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam diskusi panel yang berjalan secara maraton hadir tokoh-tokoh LSM seperti Mohamad Sobary (Partnership) sekaligus bertindan sebagai keynote speaker, Vedi R. Hadiz (National University of Singapore), Teten Masduki (ICW), Rizal Malik (TII), Joko Susilo (Anggota DPR-RI), Bambang Widjojanto (Partnership), Marsekal Lubis (Dephan) dan sejumlah tokoh lainnya baik dalam dan luar negeri.

Vedi misalnya, sebenarnya memberikan apresiasi terhadap terbentuknya lembaga-lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK, KPPU dan Timtastipikor yang dibentuk pemerintah pasca reformasi. Namun faktanya lembaga antikorupsi itu dipandang tak mampu berbuat maksimal untuk membersihkan negeri ini dari tikus-tikus pengeruk uang negara. “Kita ini sudah dibuai oleh cahaya palsu” tukasnya. Penyebabnya menurut Vedi, pendekar hukum macam KPK dan Kejaksaan tak tahan oleh tekanan kekuatan Orde Baru. Dia mengakui, KPK dan Kejaksaan telah berhasil menjebloskan salah seorang koruptor kakap macam Bob Hasan. Namun hal ini justru tak membuat takut koruptor lainnya, malah korupsi menyebar ke daerah seiring dengan proses desentralisasi.

Dimahfumi bersama bahwa korupsi di daerah tidak kalah gila dengan di pusat kekuasaan. Bahkan keadaannya sudah kronis dan endemik. Sehingga Vedi menyimpulkan bahwa proses transisi demokrasi di Indonesia telah gagal menekan korupsi.

Penyebab utama kerjadinya pembajakan lembaga-lembaga publik oleh figur-figur yang dibesarkan oleh Orde baru. Kelompok itulah menurut Vedi yang menolak penghapusan korupsi, tapi gaya dan penampilannya seperti pahlawan reformasi. Sebab bila ditelisik lebih jauh, lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masih didominasi oleh sisa Orde Baru. Mereka memiliki semua kekuatan untuk menang, mulai dari uang, preman dan jaringan politik.

Situasi ini tentu membuat demokratisasi justru mendorong menguatnya perilaku korupsi. Sebab kemenangan di Pilkada misalnya harus dicapai melalui politik uang (money politics) dalam jumlah besar dan pemimpin yang terpilih akan lebih sibuk memikirkan kembalinya modal yang telah dikeluarkan ketimbang mengabdi kepada rakyatnya.

Peran Masyarakat Sipil

Penerapan demokratisasi di daerah meskipun hal yang ideal mengalami kegagalan, karena konteks sosial politik yang belum berubah. Kekuatan yang pada awalnya pro-reformasi pun akhirnya terjebak untuk berkompromi demi keuntungan kelompoknya.

Untuk melawan dominasi itu diperlukan pengorganisasian masyarakat sampai tingkat paling bawah. Bagaimana para tokoh reformis melakukan konsolidasi ulang. Sebab dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pasca reformasi korupsi di Indonesia malah berkembang biak. Situasi itu terlihat dari data yang dikeluarkan Trancparency International, dimana tahun 2005 Indonesia menempati urutan 137 dari 158 negara terkorup di dunia. Kemudian di tahun 2006 menduduki ranking 130 dari 163 negara dan ranking 143 dari 179 negara di tahun 2007, seperti yang dijelaskan Mohamad Sobary dari TII. Dalam prakteknya Sobary menilai banyak koruptor yang dibebaskan oleh hakim di peradilan. Karenanya ia mendorong agar ada pemeriksaan terhadap para hakim dalam melaksanakan tugasnya di peradilan konstitusi. Jika lembaga kehakimannya bersih, ia optimis Indonesia mampu menekan korupsi. Hal yang sama juga berlaku pada jaksa. Karena banyak para jaksa karena motivasi tertentu tidak all out atau bahkan sebaliknya, menggebu-gebu melakukan pengusutan perkara korupsi atas motivasi tertentu pula.

Persoalan korupsi di Indonesia tak ubahnya dengan ’benang kusut’. Oleh karenanya hemat penulis dibutuhkan setidaknya tiga hal pokok, (1) Memperbaiki sistem (2) Niatan baik dari lembaga pemerintahan – legislatif, eksekutif dan yudikatif (3) Peran serta masyarakat sipil dalam proses penyelenggaraan pembangunan.

Ketiga kebutuhan tadi kiranya dapat dimulai dari upaya untuk melakukan penyadaran masyarakat sipil akan hak-haknya sehingga ia menjadi subjek (bukan pelaku penderita) dalam proses pembangunan. Hal ini sejalan dengan salah satu rekomendasi dari Konferensi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang berkomitment untuk bahu-membahu melakukan pemberdayaan masyarakat sipil serta membangun jaringan yang lebih luas dan lintas daerah dalam upaya memberantas korupsi.

Dengan demikian diharapkan para pegiat NGO di daerah memiliki kekuatan ekstra dalam menyuarakan kepentingan publik yang kerap diabaikan. Sehingga sepotong bait lagu yang dilantunkan Iwan Fals sebagai wujud keprihatinannya terhadap carut-marutnya kondisi negeri ini dapat dibenahi secara bertahap. Amin.

Tidak ada komentar: