Selasa, 25 November 2008

MENCARI JATIDIRI BANTEN (Sebuah Autokritik)

’’….. Pulo jawa ieu aya aturanana, nyanghulu ka Jungkulan, nunjang ka Balangbangan. Di Jungkulan ngarana Sangiang Sirah, di Balangbangan Sangaiang Dampal. Ti sanghiang Sirah ka Sanghiang Dampal eta aya bokongna, ngarana Gunung Kendeng. ‘’

Sebuah ide yang tentu mulia ketika Dinas Pendidikan Provinsi Banten bekerjasama denga STAIN SMHB menggelar Seminar Sejarah dan Kebudayaan Banten beberapa waktu yang lalu di Hotel Mahadria Serang. Ide tersebut merupakan sebuah keinginan untuk memformulasikan dalam rangka mentransformasikan nilai-nilai kesejarahan dan kebudayaan Banten. Sehingga dapat menjadi semacam identitas yang melekat pada setiap individu masyarakat Banten. Sayangnya kegiatan yang berlangsung dua hari itu tidak (belum) melahirkan suatu rumusan apapun yang dapat direkomendasikan bagi pemerintah untuk dijadikan suatu landasan (platform) dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan.

Ide tersebut tentu memerlukan suatu proses dialektika yang panjang, mendalam dan membutuhkan energi yang sangat besar. Sebab yang harus dilakukan terlebih dahulu melakukan inventarisasi nilai-nilai kesejarahan dan kebudayaan yang bersangkutan di berbagai sudut wilayah Banten. Yang positif bagi pengembangan dan pembangunan potensi sumber daya manusia Banten. Proses inventarisasi itu sendiri tidak boleh dilakukan sepenggal-sepenggal. Ia harus mencakup seluruh fase atau tonggak yang menjadi catatan sejarah Banten, mulai dari masa pra sejarah, masa Hindu, jaman keemasan Islam, sampai dengan lahirnya Provinsi Banten.

Hal ini perlu dilakukan agar formulasi nilai-nilai kesejarahan dan kebudayaan yang akan ditransformasikan benar-benar menjadi representasi dari nilai-nilai positif yang pernah hidup dan sedang berkembang di bumi Banten secara utuh (komprehensif). Sehingga akan menjadi suatu kekuatan yang mampu membendung dan mengeliminir ekses negatif yang dapat muncul dari modernisasi.

Terjebak Simbol-simbol

Seorang pengikut tradisi Webberian, Peter L. Berger berpendapat dalam bukunyam Modernisasi danKesadaran Manusia, bersama Brigitte Berger dan Hansfried Kellner, bahwa akibat adanya modernisasi, manusia (di negara dunia ketiga khususnya) hanya dapat memfungsikan sistem norma sebagai simbol-simbol belaka. Nilai-nilai kemanusiaan sudah tereduksi oleh modernisasi itu sendiri. Manusia hanya dapat dikontrol melalui approach security (pendekatan keamanan). Tidak ada lagi kesadaran kemanusiaanya.

Dari hasil pemikiran Berger nampak terdapat relevansi dengan peradaban manusia di Banten saat ini. Dimana kita sering terjebak pada romantisme sejarah dan sangat gandrung dengan simbol-simbol belaka. Akan tetapi kita harus sportif mengacungkan jempol kepada saudara kita yang ada di Desa Kanekes (Masyarakat Baduy) yang mau tidak mau juga harus berhadapan dengan kenyataan di atas. Namun dengan luar biasa mereka mampu mengeliminir masalah tersebut. Nilai dan norma yang ada dalam masyarakat merupakan sebuah kontrol utama pola perilaku anggota masyarakatnya. Mereka mampu menyatukan diri dengan lingkungannya.

Terlepas dari keabsahannya, agama Sunda Wiwitan nampaknya menjadi benteng yang cukup kokoh bagi mereka dalam menghadapi gencarnya kampanye yang dilakukan oleh negara-negara maju. Harga manusia tidak pernah mereka samakan dengan makhluk lain. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini istilah ‘memanusiakan manusia’ sudah semakin termarginalkan oleh hawa nafsu duniawi. Pernyataan itu dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum pernah terjadi tindak kriminal atau pidana yang bisa mengancam jiwa orang lain. Padahal kita juga bisa lihat dengan mata kepala sendiri bahwa di pinggang setiap laki-laki warga Baduy senantiasa dilengkapi dengan sebilah golok (nyoren golok). Inilah salah satu serpihan kebudayaan yang patut kita teladani.

Dalam perkembangan selanjutnya kita juga mengenal istilah post-modernisme. Di negara-negara maju, yang lengkap dengan berbagai atributnya, saat ini justru sudah menginterpretasikan post-modernisme sebagai suatu orientasi kembali kepada alam (back to nature). Dalam perkembangan teknologi pertanian misalnya, negara maju (misalnya Jepang) sudah mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, mereka tidak lagi menggunakan pupuk pabrikan seperti urea, KCL, TSP serta jenis pupuk an-organik lainnya yang pada dasarnya justru akan menurunkan tingkat kesuburan tanah. Pupuk yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jepang, sudah beberapa tahun terakhir berorientasi pada pemanfaatan sampah yang diolah menjadi humus.

Nampaknya apa yang dilakukan oleh masyarakat Baduy dalam menggarap lahan pertaniannya yang senantiasa menolak menggunakan pupuk dengan unsur kimiawi, patut kita jadikan cermin dalam kaitannya dengan upaya pelestarian lingkungan alam. Mengingat pencemaran lingkungan hidup dewasa ini sudah sangat memprihatinkan dan mengglobal.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang rela mengedepankan kejujuran dan kearifan untuk melakukan hal yang membutuhkan energi yang sangat besar itu ? Sebab akan sangat mustahil apabila misalnya hal itu dilakukan oleh pemerintah semata. Untuk menghindari krisis identitas di Banten, tentu kita memerlukan strategi kebudayaan yang menjadi tanggung jawab para pelaku (stake holders). Seorang arkeolog Banten, DR. Moh. Ali Fadillah telah menyodorkan alternatif ‘alat’ yang disebutnya Trisula, yakni kita harus membangun kesadaran, mengedepankan kehidupan kolektif dan berusaha meningkatkan kreatifitas.

Local Wisdom

Kearifan yang harus dibangun untuk menggali/melacak/menemukan kembali nilai-nilai transformatif dari masa lalu Banten yang sangat penting bagi sustainable human development di Banten menurut hemat penulis harus dimulai dengan menginventarisir nilai-nilai yang bersumber dari local wisdom. Seperti dimaklumi bersama bahwa sedemikian prulalnya nilai-nilai yang menjadi akar kesejarahan dan kebudayaan – di berbagai wilayah Provinsi Banten. Jika hal ini tidak dilakukan, maka dapat dipastikan subyektivitas yang akan mengemuka.

Pemikiran di atas merupakan suatu autokritik penulis yang diawali dari kecenderungan yang berkembang bahwa seakan-akan akar kesejarahan dan kebudayaan Banten lebih bersumber dari masa kesultanan. Dimana pada fase itu Banten berada pada puncak kejayaannya yang sangat kental dengan nuansa Islami. Padahal fakta membuktikan, sebelum Islam tersebar di bumi Banten, telah hidup sebuah peradaban manusia yang tidak bisa kita tutup-tutupi.

Sebagai contoh sederhana, sesepuh Baduy pernah mengungkapkan sebuah aturan yang diakuinya ada salahnya dan ada benarnya (salahnya tak ada kitab atau bukunya, kebenarannya adalah terdapat riwayatnya) ’’….. Pulo jawa ieu aya aturanana, nyanghulu ka Jungkulan, nunjang ka Balangbangan. Di Jungkulan ngarana Sangiang Sirah, di Balangbangan Sangaiang Dampal. Ti sanghiang Sirah ka Sanghiang Dampal eta aya bokongna, ngarana Gunung Kendeng. ‘’ Sudahkah kita mencoba menelusuri makna di balik fakta-fakta itu ? Peradaban manusia seperti apa sesungguhnya yang pernah hidup saat patung Ganesha di Ujung Kulon itu ada ? Ketika birokrat dan teknokrat stagnan, saatnya budayawan bangun dari mimpi. Maka mari kita mulai dengan kejujuran dan kearifan. Wallahu’alam.*

1 komentar:

Joy Johari mengatakan...

Inventarisasi itu membutuhkan waktu yg panjang, tenaga dan juga dana yang mungkin saja cukup besar. Kesimpulan : harus ada political will dari pemerintah daerah.
Sebuah autokritik yang bagus sekali, saya setuju banget.