Rabu, 26 November 2008

LONG MARCH BERSAMA PRIA BADUY (Dari Kanekes Menuju Pendopo Kabupaten Lebak)

Tepat pukul 05.00 WIB, (21/04/07) 5 tanggal bulan Sapar - dalam penanggalan adat Baduy, bersama Ayah Mursyid (36) tokoh adat Kampung Cibeo, Seurat Samin (87) tokoh adat Kampung Cikeusik, Aki Naldi (68) warga Cibeo, Musung (32) warga Cibeo dan 19 delegasi Baduy Dalam lainnya, penulis mengayunkan langkah kaki dari kampung Babakan Jaro / Babakan Kadu Ketug menuju Pendopo Kabupaten Lebak di Rangkasbitung.

Subuh yang dingin diselimuti kabut tipis dan embun itu melepas kepergian kami untuk membawa misi adat Baduy : Menyambung tali silaturahmi dengan Bapak Gede (kepala daerah Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang dan Provinsi Banten) & menyampaikan pesan agar stake holders senantiasa menjaga kelestarian alam dan tunduk patuh kepada peraturan (hukum) yang berlaku. Delegasi dari Urang Tangtu (Baduy Dalam) kali ini didominasi oleh wajah baru dalam mengikuti upacara Seba Baduy yang dilaksanakan setiap tahun.

Tanpa mengenakan alas kaki, langkah mereka begitu cepat dan konstan, seperti berlari kecil. Awalnya penulis mampu mengimbangi ritme langkah kaki mereka, yakni di kampung Ciboleger, Leuwidahu, Cicanir dan Cibengkung. Namun di kilometer kelima, sebagian besar sudah jauh di depan. Beruntung Ayah Mursyid, Seurat Samin yang merupalan delegasi tertua dan dua warga lainnya mengimbangi langkah kaki penulis. Kaos kaki tebal yang penulis kenakan sudah mulai sobek setelah melewati dua kampung terakhir. Rasa ngilu akibat menginjak kerikil dan aspal panas di telapak pun mulai terasa.

Rasa sakit dan perih di kaki sedikit berkurang setelah rombongan mengambil jalur alternatif melalui Leuweung Gareumeun, Kadubali, Ciherang dan sungai Cikolear yang letaknya tak jauh dari kantor Kecamatan Leuwidamar.

Di sungai Cikolear rombongan beristirahat. Sebagian besar anggota rombongan mandi, ada yang buang hajat, ada pula yang sekedar duduk di atas lempengan batu yang berserakan di badan sungai. Disana mereka membuka nasi timbel yang disiapkan dari rumahnya masing-masing. Di samping itu mereka juga membuka bokor yang berisikan daun seureuh, gambir, apu, jebug untuk disepah. Satu per satu mereka memakan sirih. Penulis hanya menghisap sebatang rokok & ikut memakan buah pisitan dan kokosan dari perbekalan Ayah Mursyid.

KEPATUHAN RAKYAT

Setelah semuanya usai, kami siap melanjutkan long march. Sebelum berangkat, Ayah Mursyid memberikan instruksi kepada rombongan. “Inget, urang kudu ati-ati, ulah ngisinkeun, kudu daek diatur, ulah pabisa-bisa, kudu leumpang babarengan” (Ingat, kita semua harus berhati-hati, jangan memalukan, harus mau diatur, jangan saling mendahului, harus jalan berbarengan) kata Ayah Mursyid dengan penuh wibawa. Semuanya menundukkan kepala, pertanda siap menjalankan amanat tersebut. Perjalanan pun dilanjutkan menuju kantor Kecamatan Leuwidamar. Disana rombongan disambut Camat setempat, dan sempat berdialog sekitar 10 menit. Perjalanan pun dilanjutkan untuk singgah sebentar di Mapolsek Leuwidamar.

Karena kaos kaki yang penulis pakai sudah sobek dan basah yang mengakibatkan kaki lecet, terpaksa membeli sandal jepit. Sejak dari kantor kecamatan Leuwidamar, tak ada lagi jalan pintas yang kami lalui. Perjalanan berikutnya hanya menelusuri jalan yang melintasi kampung Dagowanti, Janglapa, Sangiang, Bojongbarang, Sudamanik, Bangkolan, Pasirbungur, Cicae, Cilaki, Cimarga, Rancalutung, Cirende, Pariuk, dan berujung di Aweh, 1 KM sebelah barat pendopo Kabupaten Lebak. Mulai dari daerah itu debu jalanan (yang sebagian besar rusak) saat kendaraan melintas, terpaksa harus kami hirup.

Dengan telapak kaki yang sudah mulai bengkan, paha kiri terasa kram, sela-sela jempol dan telunjuk kaki juga sudah sobek, penulis terus berusaha mengimbangi ritme langkah kaki manusia-manusia perkasa dari pegunungan Kendeng ini. Aspal yang mulai memuai akibat sengatan matahari yang semakin panas mengakibatkan sandal jepit yang baru dibeli itu aus dan menipis. Hebatnya tak satu pun Urang Wiwitan ini yang mengeluh kepanasan. Padahal mereka hanya terbiasa berjalan kaki di jalan setapak, tanah pegunungan Kendeng yang sejuk dan relatif lembut.

LELAKI PERKASA

Ketangguhan mental dan fisik Urang Tangtu memang tak diragukan lagi. Saat ditanya terasa panaskah aspal dan kerikil tajam yang diinjak, diantaranya menjawab dengan santai “lumayan karasa haneut mah” (lumayan terasa hangat). Telapak kaki mereka memang tampak tebal dan lebar. Mereka mampu beradaptasi di berbagai medan.

Ketebalan itu pula rupanya yang membuat mereka tidak merasakan panas. “Nanaon geh ku tuman, kami mah tuman leumpang kamamana geh. Ari Ka Uday (penulis) mah teu ilok leumpang jauh. Makana dampalna pareupeus kapanasan. Komo deui ieu mah aspal jeung batu lalancip” (Apapun juga karena kebiasaan, kami terbiasa berjalan kaki kemanapun tujuannya. Kalau Kak Uday tidak terbiasa berjalan kaki dengan jarak jauh. Makanya telapak kakinya terkelupas kepanasan. Apalagi yang diinjak ini aspal dan kerikil tajam) ucap Ayah Mursyid sambil terus mengayunkan kakinya.

Sejak dari Leuwidamar, rombongan terbagi dua. Rombongan pertama (14 orang) sudah jauh di depan, mengingat kecepatan jalan mereka yang stabil, sementara penulis tak mampu lagi mengimbangi ritme langkah mereka. Sehingga Ayah Mursyid, Seurat Samin, Aki Naldi dan lima warga lainnya yang menyesuaikan diri dengan langkah kaki penulis.

TEU WASA

Sepanjang perjalanan banyak warga kampung yang dilintasi menyapa dan menawarkan istitahat. Bahkan banyak pula yang menyarankan agar naik kendaraan. Pernyataan tersebut dijawab dengan singkat “kami mah teu wasa” (kami tidak boleh - naik kendaraan) atau “sanajan ripuh, ieu mah geus jadi kawajiban kami” (meskipun repot, ini sudah menjadi kewajiban kami) sambil terus mengayunkan langkah kaki.

Penulis beberapa kali usul untuk istirahat sekedar menarik nafas dan memeriksa kaki yang bengkak dan penuh bercak luka. Saking merasa tidak enak mengajak mereka istirahat, sempat di daerah galian pasir, ada penjual es cream mengenakan sepeda berpapasan. Penulis tawarkan agar mereka makan es cream. Kedelapan anggota rombongan pun tak ada yang menolak. Kesempatan ini penulis gunakan untuk istirahat lagi. “Alhamdulillah, untung mereka terima tawaranku, jadi aku bisa istirahat lagi” gumam penulis dalam hati.

Dalam hitungan, selama perjalanan penulis menghabiskan lebih dari 10 botol air mineral atau lebih dari 5 liter air dengan 10 kali beristirahat. Sedangkan yang lain hanya menghabiskan beberapa botol saja. Sepanjang jalan hampir tak ada obrolan panjang. Mereka berkomunikasi seperlunya saja. Kecuali Ayah Mursyid dan Seurat Samin yang menimpali banyak pertanyaan penulis.

Di 8 kilometer terakhir tubuh penulis mulai pucat, luka di kaki semakin lebar dan membengkak, rasa sakit pun tak tertahankan. Dengan sabar Ayah Mursyid berjalan di samping kanan penulis, entah gumam apa. Yang sempat terdengar hanya kata-kata “...leumpang gancang” (…jalan cepat). Dengan spirit itu pula penulis mencoba melupakan rasa sakit.

Tepat pukul 16.00 WIB akhirnya kami sampai juga di pendopo Kabupaten Lebak di Rangkasbitung. Disana kami disambut warga Baduy Luar yang sudah datang terlebih dahulu dengan menggunakan kendaraan roda empat. Sebagian di antaranya berjejer di sekeliling alun-alun. “Selamat datang tamu kami, Anda mampu memecahkan rekor sebagai warga luar Baduy pertama yang mengikuti Upacara Seba dengan berjalan kaki” teriak Marsadi, asisten Dainah, Jaro Pamarentah/Kepala Desa Kanekes) dengan bahasa Indonesia yang fasih, yang tiba terlebih dahulu menggunakan puluhan kendaraan roda empat.

Satu jam kemudian penulis dievakuasi wartawan Tabloid Lebak 1828 untuk istirahat, dengan harapan saat acara ritual dimulai dengan Bapak Gede (Bupati Lebak) jam 19.00 WIB badan sudah kembali fit. Namun sayang, kedua kaki tak mampu melangkah saat hendak menuju pendopo. Sekedar untuk menuju kamar kecil saja, harus merangkak. Kondisi ini menghapus harapan penulis untuk melanjutkan berjalan kaki menuju pendopo Provinsi Banten keesokan harinya.

Setelah melakukan upacara adat di pendopo Kabupaten Lebak, esok paginya Urang Tangtu kembali melanjutkan perjalanan kakinya menuju Pendopo Provinsi Banten melalui jalur Petir. Sekitar jam 12.00 WIB mereka sudah tiba, sehingga banyak waktu istirahat sebelum upacara puncak Seba dengan Gubernur Banten.

Bisa dibayangkan, setidaknya mereka menempuh jarak 70 KM dan kembali ke kampung halamannya di pegunungan Kendeng dengan jarak yang sama. Mereka jalankan tugas mulia dengan dua misi utama itu dengan keikhlasan tanpa pamrih dan keluh kesah. Mereka memang lelaki perkasa. Karenanya keikutsertaan penulis berjalan kaki semata sebagai salah satu bentuk apresiasi atas ketangguhan, keteguhan dan kepatuhan masyarakat Baduy dalam ngabaratapeun ngabaratanghikeun (menghayati dan mengamalkan) pikukuh adat. Penulis yakin nenek moyang kita dahulu juga melakukan hal yang sama: ngatruk alias jalan kaki. Mereka pejalan kaki sejati, dan layak mendapatkan penghargaan dari MURI.

SEBA AGEUNG

Tahun 2007, upacara adat ini terkategorikan sebagai Seba Ageung atau Seba Gede. Dimana delegasinya mencapai angka 1.030 warga. Terdiri dari 23 warga Baduy Dalam dan 1.007 warga Baduy Luar. Seba Ageung juga ditandai dengan “tanda mata” yang dibawa bukan saja berupa pisang, beras putih dan beras ketan, gula aren, talas, kisabrang, jaat, humbut pahit dan laksa saja, melainkan juga membawa peralatan memasak tradisional. Perlengkapan memasak yang mereka bawa diantaranya berupa dulang, aseupan, nyiru, kuluwung, hihid, pangarih, gayung, yang berasal dari tiap kampung Dangka. Perlengkapan tersebut hanya diberikan di pendopo Provinsi Banten. Sementara “tanda mata” yang diberikan kepada Camat Leuwidamar, Bupati Lebak, Bupati Pandeglang, Bupati Serang hanya berupa hasil bumi seperti pisang, talas dan gula aren.

Tidak ada komentar: