Rabu, 26 November 2008

“BIARKAN RAKYAT SEHAT”

Negara harus bebaskan biaya pendidikan

Negara harus bebaskan biaya kesehatan……

Oleh karena itu biarkan kami sehat

Agar mampu menjaga kedaulatan di tanah air ini.

Negara harus seperti itu....

Kalau tidak, bubarkan saja. (Iwan Fals dalam album 50:50).

Kebetulan hari ini (12 Nopember) ditetapkan pemerintah sebagai Hari Kesehatan Nasional. Konsepsi Paradigma Sehat kembali menjadi pembicaraan hangat para pihak. Tak mau ketinggalan, sejak dua tahun lalu Pemda Pandeglang bahkan turut mencanangkan program ”Pandeglang Sehat 2010”, dua tahun lebih lama dibandingkan dengan niatan mulia pemprov dengan ”Banten Sehat 2008”nya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah akankah hal itu terwujud?

Idealnya negara memang harus mampu membebaskan biaya kesehatan untuk menjawab rendahnya kemampuan masyarakat mengakses pelayanan kesehatan yang baik di negeri ini. Namun sayang, sederet bait syair lagu Iwan Fals di atas dibuat dan dinyanyikan dalam bingkai ’negara imposible’.

Sejumlah program yang digulirkan pemerintah untuk menjadikan rakyat Indonesia sehat telah diluncurkan, diantaranya adalah JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan), yang turunannya berbentuk Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin). Akan tetapi, dengan sekedar memegang kartu Askeskin saja, si miskin tidak begitu saja mendapat kemudahan, apalagi untuk mendapatkan pelayanan yang prima secara gratis. Sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa tetap saja ada sejumlah persoalan bisa diselesaikan hanya dengan uang yang menjadi beban rakyat miskin dalam keadaan gering itu. Sehingga tidak heran ada pihak yang menengarai bahwa program Askeskin adalah semu dan lebih dijadikan komoditas politik yang berkesan populis.

Bisa dilihat dengan kasat mata kondisi sarana dan prasarana rumah sakit umum Pandeglang yang sangat memprihatinkan. Kapasitas ruangan terbatas, kumuh, sumpek, kotor yang disertai aroma septictank yang menyengat karena sudah lama tidak dikuras, obat-obatan terbatas, ditambah lagi dengan perilaku masyarakat yang kesadaran hidup bersihnya masih sangat rendah. Sisa makanan beserta kemasannya (mulai dari daun pisang, upih-pelepah pinang), plastik, minuman, puntung rokok berserakan di hampir setiap sudut ruangan rumah sakit yang berminggu-minggu menumpuk tidak dibersihkan.

Bahkan pada satu malam tampak seorang dokter tersengal-sengal sesak nafas mencium kepulan asap rokok penunggu pasien di sekitar instalasi bedah saat ia menunaikan tugas memeriksa pasiennya. Sejumlah pasien nampak di lorong-lorong yang kotor menjadi pemandangan yang biasa terjadi. Jadi, lengkaplah sudah persoalan kesehatan di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pandeglang yang -menurut pengakuan si dokter tadi - merupakan rumah sakit terparah dibandingkan dengan rumah sakit daerah lain yang pernah menjadi tempat tugasnya, di luar pulau jawa sekalipun.

Paradigma Sakit

Penulis berasumsi, siapapun yang memimpin RSUD Pandeglang tak akan mampu berbuat banyak dalam upaya memberikan pelayanan yang maksimal jika regulasinya tetap seperti sekarang. Di antara persoalannya adalah masih sangat terbatasnya alokasi anggaran dari pemerintah untuk menutupi kebutuhan biaya operasional. Padahal PAD Pandeglang sekitar 30% diantaranya bersumber dari retribusi kesehatan, sejak 15 Februari 2002 melalui Perda Nomor 16 tahun 2001 tentang Retribusi Jasa Pelayanan Kesehatan. Tidak tanggung-tanggung kenaikannya mencapai 300%, biaya pendaftaran di Puskesmas yang dulu dari Rp.500 naik menjadi Rp.2000. Itupun belum termasuk tindakan medis, artinya pengguna jasa hanya mendapatkan pemeriksaan, suntikan bila diperlukan dan obat. Belum lagi ketika harus ada tindakan medis, maka minimal Rp.5000 harus dikeluarkan si pasien.

Persoalan tidak berhenti disitu, dana sebesar Rp.2000/pengunjung itu semuanya harus langsung disetorkan petugas Puskesmas ke kas daerah bada bulan berjalan melalui dinas kesehatan untuk mendongkrak PAD. Sedangkan jatah untuk biaya operasional puskesmas dikembalikan dua atau tiga bulan kemudian sebesar Rp.500. Sehingga untuk menutupi biaya operasional yang besifat mendesak pada bulan berjalan, pihak puskesmas harus mencari alternatif solusi sendiri. Seandainya tidak ada program JPS BK dari pemerintah pusat, dapat diprediksi, puskesmas-puskesmas di Kabupaten Pandeglang akan mati suri. Sebab dari dana itulah pihak pengelola puskesmas bisa menutupi kebutuhan operasional pada bulan berjalan.

Kegelian terakhir adalah adanya penekanan dari pemda untuk memberikan target kepada seluruh puskesmas dalam perolehan kunjungan tiap tahunnya. Padahal dalam konteks paradigma sehat, logika yang dipakai adalah ’jika kunjungan masyarakat ke puskesmas semakin rendah, maka hal itu merupakan salah satu indikator telah terjadinya peningkatan derajat kesehatan masyarakat’. Di Pandeglang justru menggunakan logika terbalik, yakni menggunakan paradigma sakit; ’jika kunjungan masyarakat ke puskesmas semakin tinggi, maka hal itu merupakan salah satu indikator keberhasilan dinkes dalam mendongkrak PAD Pandeglang’.

Jadi sungguh sangat memprihatinkan, rakyat miskin yang sedang sakit ternyata merupakan pihak yang paling besar memberikan andil dalam perolehan PAD. Sebab hanya orang miskin yang sakit saja lah yang menggunakan jasa layanan kesehatan Puskesman. Sedangkan masyarakat yang tingkat ekonominya menengah keatas, dipastikan enggan menggunakan jasa kesehatan di puskesmas. Ia akan memilih berkunjung ke dokter, mantri yang membuka praktek di rumahnya atau ke rumah sakit yang besar, mahal, pelayanannya optimal, yang tentu saja tidak ada di luar Pandeglang.

Perilaku Kotor

Alternatif menggunakan out sourching melalui jasa cleaning service dari pihak ketiga (swasta) sebagaimana dilakukan rumah sakit lain (termasuk rumah sakit pemerintah), sesungguhnya akan mampu menanggulangi persoalan kebersihan di lingkungan rumah sakit. Sebab masyarakat datang ke rumah sakit bertujuan untuk sehat, bukan tambah sakit. Hal ini juga sekaligus akan mendidik masyarakat untuk berperilaku bersih. Setidaknya warga akan introspeksi diri dan tidak seenaknya membuang sampah atau meludah, jika melihat lantai rumah sakit bersih, saluran air bersih, dan tidak menghirup aroma septic tank.

Keluhan pengelola pihak rumah sakit mengenai keterbatasan dana untuk menggunakan jasa pemelihara kebersihan dari pihak swasta sangatlah kontra logika dengan capaian retribusi bidang kesehatan dalam mendongkrak PAD. Dalam hal ini tentu niatan baik dan mulia dari kepala daerah menjadi kunci utama yang dinantikan dalam pemenuhan kebutuhan rakyat yang sakit itu, dibandingkan dengan sekedar merencanakan menggratiskan biaya pernikahan yang jelas-jelas si calon pengantin memiliki rencana untuk berumah tangga dan tentu sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Sebab orang miskin yang sakit dipastikan tidak memiliki niat/rencana untuk sakit.

Kini saatnya orang miskin yang sedang sakit jadi sehat. Supaya mimpi Pandeglang Sehat 2010 tidak menjadi isapan jempol belaka, segera fungsikan gedung rumah sakit baru (lebih mirip kampus gedung sekolah ketimbang rumah sakit) yang kini sudah mulai nampak lapuk dan kusam di bilangan Cipacung itu, agar tidak didahului diisi oleh uka-uka, dedemit dan sejenisnya. Tetapi tentu kita harus ingat, sudahkan gedung tersebut dilengkapi dengan tempat pembuangan limbah yang terpisah dengan septic tank? Bagaimana dengan sarana dan prasarana penunjang lainnya? Rakyat tentu berhak mempertanyakan hasil analisa mengenai dampak lingkungan sosial (amdalsos)nya.

Tidak ada komentar: